Selasa, 18 Mei 2021

Kerahkan Kader JKN, Alihkan Peserta Mandiri ke PBI

 

Tunggakan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) menjadi persoalan besar. BPJS Kesehatan rajin telecolecting. Kader JKN bergerak dari rumah ke rumah dan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur mengalihkan penunggak ke dalam daftar penerima bantuan iuran (PBI).     

Sebanyak 500 kepala keluarga peserta JKN sudah di tangan Rina Rudin. Perempuan 40 tahun ini bergegas mendatangi peserta yang menjadi binaannya di Kelurahan Baamang Barat, Kecamatan Baamang, Kabupaten Kotawaringin Timur. Mereka merupakan penunggak iuran di atas lima bulan dari segmen PBPU atau peserta mandiri. 

Peserta dengan tunggakan besar dikunjunginya. Rina menyodorkan tagihan iuran JKN selama 17 bulan dengan nominal Rp 6,8 juta. Peserta JKN kelas I itu pun geleng-geleng kepala, tak menyangka tunggakan iuran lima anggota keluarganya begitu besar. Usai mendapat penjelasan pentingnya iuran, peserta akhirnya bersedia melunasinya dalam tempo satu pekan.        

Rina merasa lega, dan tagihan pun berlanjut ke peserta lain yang nominal tunggakannya lebih besar, yakni Rp 9 juta. Warga yang disambangi terkaget-kaget.

”Aduh, banyak sekali. Gimana bayarnya ini?” kata penunggak.       

Rina menawarkan solusi pembayaran tunggakan melalui program Tabungan Sehat. Untuk mengikuti program ini, peserta cukup menunjukkan KTP, KK, Kartu JKN-KIS, dan menyetorkan saldo awal.  Jumlah setoran bulanan bisa disesuaikan dengan tunggakan dan jangka waktu yang diinginkan. Setelah menentukan jumlah setoran dan jangka waktu, peserta mengisi form autodebet. Saat nilai tabungan sudah mencapai nilai tagihan BPJS Kesehatan, sistem akan mendebet tabungan peserta.   

”Setor saldo awal bisa lewat saya. Saya Kader JKN sekaligus sebagai agen BNI,” ujar perempuan kelahiran Sampit 16 Agustus 1979 ini.  

Meski belum berhasil membujuk peserta untuk melunasi tunggakan, Rina tidak patah arang. Dia tetap semangat menyambangi peserta lainnya. Dari 500 KK yang menjadi binaannya, minimal Rina harus mengunjungi 40 rumah per bulan.  

Kepada Radar Sampit, Rina menceritakan bahwa tantangan Kader JKN semakin besar, karena batas maksimum iuran yang ditagihkan meningkat dari 12 bulan menjadi 24 bulan. Beragam alasan dilontarkan peserta ketika ditagih. Ada yang beralasan tak pernah menggunakan karena tak pernah sakit, ada yang kecewa terhadap layanan rumah sakit, dan ada juga yang tak punya uang.   

Jika peserta beralasan tidak pernah memakai kartu JKN, Rina menerangkan bahwa iuran yang dibayarkan sebagai bentuk gotong royong dalam membiayai masyarakat yang sakit. 

”Begitupun sebaliknya, ketika kita yang mengalami sakit, iuran peserta yang sehatlah yang membantu pembiayaan pelayanan kesehatan kita. Anda pilih sehat sehingga bisa membantu yang sakit, atau pilih sakit agar dapat bantuan dari yang sehat?” tanya Rina, Selasa (23/7/2019).  

Jika peserta beralasan kecewa dengan layanan rumah sakit, Rina menyampaikan bahwa tidak ada yang ribet asalkan persyaratan lengkap dan tertib bayar iuran. Bahkan dirinya selalu siap membantu peserta binaannya yang meminta tolong mengurus administrasi di kantor BPJS Kesehatan, hendak membayar iuran, ataupun saat berobat di fasilitas kesehatan.   

Ada juga peserta yang beralasan tidak sanggup lagi membayar iuran bulanan karena kesulitan ekonomi. Rina pun menawarkan solusi jitu. Peserta mandiri bisa pindah ke segmen penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya ditanggung Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur.    

Kehadiran Rina sebagai Kader JKN ini bagian dari bentuk partisipasi masyarakat dalam menyukseskan program JKN. Sebab, keberlangsungan program ini tak melulu berada di pundak karyawan BPJS Kesehatan dan pemerintah, tapi juga kerja keras Kader JKN.   

Sayangnya, jumlah Kader JKN belum sebanding jumlah peserta yang menunggak iuran. BPJS Kesehatan Cabang Sampit yang mengkaver lima kabupaten hanya memiliki lima Kader JKN. Tiga orang di Kotawaringin Timur dan dua orang di Kabupaten Kotawaringin Barat. Sementara Seruyan, Sukamara, dan Lamandau nihil kader.  

Lima Kader JKN ini memiliki tugas berat. Dari 39.950 peserta mandiri di Kotawaringin Timur, terdapat 4.632 KK atau 12.832 jiwa yang menunggak iuran senilai Rp 8,5 miliar. Sementara di Kotawaringin Barat lebih parah lagi. Dari 52.672 peserta mandiri, terdapat 6.531 KK atau 16.642 jiwa yang menunggak iuran dengan nominal Rp 11,7 miliar. Rendahnya kolektabilitas iuran ini turut memperparah defisit keuangan BPJS Kesehatan.   

Pemkab Kotawaringin Timur tidak tinggal diam. Langkah yang ditempuh yakni mengalihkan peserta mandiri kelas III yang menunggak iuran ke dalam peserta penerima bantuan iuran (PBI). Ini merupakan implementasi dari Perda Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembiayaan Program JKN oleh APBD. Hasilnya, hingga 30 Juni 2019, peserta PBI yang ditanggung APBD Kotawaringin Timur mencapai 102.714 jiwa dengan iuran Rp 2,36 miliar per bulan atau Rp 28 miliar per tahun.  

”Kesehatan merupakan layanan dasar bagi masyarakat. Karena itu, pemkab menyiapkan anggaran besar untuk iuran JKN, pembangunan fasilitas kesehatan, maupun perekrutan tenaga medis,” ucap Kepala Dinas Kesehatan Kotawaringin Timur dr Faisal Novendra Cahyanto, Jumat (26/7/2019).   

Banyaknya peserta mandiri yang menunggak juga menuai respon dari kalangan pengusaha yang selama ini patuh dalam membayarkan iuran JKN. 

”Badan usaha sudah patuh dalam membayar iuran JKN untuk para pekerjanya. Semestinya ini juga diikuti peserta mandiri,” ujar Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Kabupaten Kotawaringin Timur Susilo, Jumat (26/7/2019).

Menurutnya, perlu instrumen untuk mendorong kepatuhan peserta mandiri dalam membayar iuran. Pemerintah daerah bisa menerapkan sanksi bagi peserta mandiri. Misalnya, tidak mendapat pelayanan publik tertentu berupa pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), paspor, hingga sertifikat tanah.      

”Sanksi bukan hanya kartu JKN-KIS non-aktif, tapi juga tidak mendapatkan pelayanan publik. Di sisi lain, layanan di fasilitas kesehatan jangan sampai mengecewakan peserta. Kalau peserta kecewa, pasti malas bayar iuran,” ujar Susilo.       

Hal senada juga disampaikan Anang Agustiawan selaku Employee Service Hospital Goodhope. Tertib iuran harus dilaksanakan oleh semua peserta, baik badan usaha maupun peserta mandiri.   

”Setiap bulan, Goodhope membayar iuran JKN sebesar Rp 750 juta untuk 10 ribu karyawan. Kami menganggap ini sebagai program gotong royong,” ujar Agung.      

Sementara itu Teuku Kanna, Senior Manager PT Sukajadi Sawit Mekar, menyampaikan bahwa perusahaan tempatnya bekerja rutin membayar iuran JKN untuk 2.411 karyawan. Program JKN membuat perusahaan memiliki kepastian dalam menyusun pengeluaran tahunan. ”Kita bisa menekan risiko pengeluaran tak terduga akibat karyawan sakit. Semuanya sudah dikaver oleh JKN. Artinya, kita sedia payung sebelum hujan,” ujarnya. 

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Sampit drg Adrielona mengakui ada ketimpangan antara peserta mandiri dan badan usaha dalam hal kedisplinan membayar iuran. Kedisiplinan peserta mandiri sangat memprihatinkan. Upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan yakni mengirim SMS blast dan telecolecting untuk penunggak iuran satu hingga tiga bulan. Sementara yang menunggak lebih dari lima bulan, BPJS Kesehatan melibatkan Kader JKN.       

Jumlah Kader JKN masih minim karena tidak mudah untuk merekrutnya. Dibutuhkan sosok yang sabar, ulet, tekun, jujur, dan suka bergaul. Adrielona berharap pemerintah kecamatan maupun kelurahan turut membantu BPJS Kesehatan mencari sosok-sosok potensial untuk direkrut menjadi Kader JKN.   

Selain mengoptimalkan peran Kader JKN, BPJS Kesehatan juga menggandeng Pemkab Kotawaringin Timur. Pemkab tidak hanya mengkaver iuran semua warga yang belum terdaftar JKN, tapi juga mengalihkan peserta mandiri yang menunggak ke dalam peserta PBI.  

”Rata-rata dalam satu bulan ada 500 peserta mandiri kelas III yang menunggak dialihkan ke PBI,” ujar Adrielona, Jumat (26/7).

Namun, tidak semua peserta mandiri bersedia dimasukkan ke kelas III, terutama kalangan menengah atas. Karena itu, Adrielona sepakat dengan penerapan sanksi berupa tidak mendapatkan layanan publik tertentu bagi penunggak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013, Pasal 9, sanksi bisa berupa tidak dilayaninya pembuatan IMB, SIM, STNK, paspor, dan sertifikat tanah. 

”Jika law enforcement dijalankan oleh pemerintah daerah, saya yakin tingkat kepatuhan peserta mandiri akan meningkat, seperti halnya kepatuhan badan usaha membayar iuran,” katanya.   

Adrielona meyakini keberlangsungan program JKN akan terjaga asalkan ada sinergi yang kuat antara pemerintah, BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan, dan semua peserta JKN. Dampaknya, 27.229 fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan bisa melayani 222.463.022 peserta program JKN dengan prima. Dan akhirnya, dengan gotong royong, semua tertolong. (***) 

============= 

Catatan: Artikel ini pernah diterbitkan di Radar Sampit edisi 31 Juli 2019 dan meraih juara 2 dalam Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan 2019

 

Bayar Iuran dengan Kelapa Sawit



Kader Penggerak BPJS Ketenagakerjaan mampu menjangkau para petani yang berada di daerah pelosok. Improvisasinya juga berhasil memudahkan pengumpulan iuran dan menihilkan tunggakan.

Panen padi menjadi masa yang paling dinanti Masrani. Petani asal Desa Bapeang, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, Kabupaten Kotawaringin Timur, ini mengangkut padi dari sawah ke rumah dengan sepeda motor. Di tengah perjalanan, Masrani mendapat musibah. Dia ditabrak sesama pengendara sepeda motor dari belakang. Kaki kanannya patah, sehingga harus operasi di Rumah Sakit dr Murjani Sampit. Rawat inap dijalaninya selama lima hari.  Biaya yang harus dibayarkan ke rumah sakit sebesar Rp 11 juta lebih. Namun biaya itu tidak dirogoh dari kantong pribadi. Semua biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan.   

”Untungnya saya sudah jadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sejak tahun 2013. Selain biaya operasi dan pengobatan ditanggung, saya juga dapat santunan Rp 9 juta,” kisah Masrani di Sampit, Jumat (8/12).   

Pengalaman di atas membuatnya semakin sadar akan pentingnya jaminan sosial ketenagakerjaan. Sikap ini ditunjukkannya dengan membayar iuran setiap bulan sebesar Rp 66.800 untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Besaran iuran ini dihitung berdasarkan asumsi penghasilan Rp 2 juta per bulan.   

Bagi Masrani, iuran ini tidak memberatkan. Jika mau iuran yang lebih murah, bisa memilih iuran sebesar Rp 16.800 untuk dua program (JKK dan JKM) dengan dasar asumsi penghasilan Rp 1 juta.  

”Iuran terkecil Rp 16.800 per bulan. Berarti per harinya cuma Rp 560. Ini lebih murah dari sebatang rokok,” kata pria kelahiran 26 Desember 2975 ini.   

Pengalaman tentang pentingnya jaminan sosial ketenagakerjaan ini disampaikan Masrani kepada rekan sesama petani di desanya. Puluhan petani pun mengikuti jejak suami Nurasiah ini. Ada yang ikut tiga program, ada juga yang hanya mendaftar dua program.   

Keberhasilan Masrani mengajak para petani menjadi peserta jaminan sosial ternyata menarik perhatian BPJS Ketenagakerjaan. Tahun 2016, Masrani diundang untuk mengikuti Pelatihan Kader Penggerak BPJS Ketenagakerjaan di Aquarius Botique Hotel Sampit. Dia dibekali wawasan tentang program jaminan sosial dan manfaatnya. Sejak saat itu, dia lebih aktif menyosialisasikan program jaminan sosial kepada kelompok tani maupun perkumpulan RT/RW di desanya. Respon masyarakat cukup bagus. Lebih dari 45 petani di Desa Bapeang mengikuti program jaminan sosial. Iurannya pun dikoordinir melalui kelompok tani.

Selain para petani, lima perangkat Desa Bapeang, tujuh anggota badan permusyawaratan desa, 22 ketua RT/RW, sembilan anggota LPMD, dan lima guru TK di Desa Bapeang juga menjadi peserta jaminan sosial. Ini juga tidak lepas dari dukungan Pemerintah Desa Bapeang yang dikepalai oleh Agus Rianto. Sebab, perangkat desa maupun petani tidak lepas dari risiko kerja. Apalagi Desa Bapeang dibelah oleh jalan provinsi yang menghubungkan dua kabupaten; Kotawaringin Timur dan Seruyan. Desa Bapeang juga dilintasi truk-truk jumbo yang keluar masuk Pelabuhan Bagendang sehingga rawan terjadi kecelakaan kerja.

Meningkatnya kesadaran perangkat desa dan warga di Desa Bapeang tentang pentingnya jaminan sosial berbuah manis. BPJS Ketenagakerjaan menetapkan Desa Bapeang sebagai Desa Sadar Jaminan Sosial Ketenagakerjaan pada 17 November 2017. Sebagai timbal baliknya, BPJS Ketenagakerjaan membantu menata desa. Diantaranya, membuatkan panggung cor beton di halaman kantor desa, memperbaiki taman kantor desa, mengecat trotoar, mengecat lingkungan kantor dan lapangan voli.   

Kiprah Masrani sebagai Kader Penggerak BPJS Ketenagakerjaan tidak sebatas di Desa Bapeang. Dia juga berhasil mengajak 80 petani di Desa Lempuyang, Kecamatan Teluk Sampit, untuk ikut program jaminan sosial ketenagakerjaan.  

Kisah sukses Kader Penggerak BPJS Ketenagakerjaan juga datang dari Subli Hidayat yang tinggal di pelosok Desa Tanjung Rangas, Kecamatan Seruyan Hilir, Kabupaten Seruyan. Sebuah desa yang jaraknya lima jam perjalanan dari Kota Sampit.

Subli yang juga Sekretaris Koperasi Karya Bersama ini bisa meyakinkan 671 petani dan nelayan  untuk menjadi peserta jaminan sosial pada November 2016. Iurannya tidak diambil secara langsung dari kantong petani, tapi dibayar menggunakan hasil panen kelapa sawit.

”Kalau iuran harus mengambil langsung dari petani, agak sulit. Belum tentu semua mau ikut,” kata pria kelahiran Kotawaringin Timur 4 Februari 1980 ini.     

Subli menjelaskan, wilayah desanya terdapat perusahaan kelapa sawit PT Kerry Sawit Indonesia. Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, perusahaan wajib membangun kebun plasma seluas 20 persen dari luas konsesi hak guna usaha. Dari aturan tersebut, 671 warga Desa Tanjung Rangas yang berhimpun dalam Koperasi Karya Bersama memperoleh kebun plasma sawit seluas 831 hektare.

Pengelolaan kebun ditangani langsung oleh perusahaan, mulai dari pembukaan lahan, penyediaan bibit sawit, pupuk, perawatan, hingga panen. Semua biaya investasi tersebut ditalangi perusahaan. Dari hasil panen sawit, 50 persen diserahkan kepada perusahaan sebagai pengganti biaya investasi, dan 50 persen diserahkan kepada Koperasi Karya Bersama untuk dibagikan kepada warga Desa Tanjung Rangas.    

”Hasil panen ini diserahkan kepada koperasi tiga bulan sekali. Jumlahnya kurang lebih Rp 1,5 miliar untuk koperasi dan Rp 1,5 miliar untuk perusahaan. Kalau biaya investasi sudah dikembalikan 100 persen kepada perusahaan, semua hasil panen akan menjadi milik koperasi,” terang lelaki lulusan IAIN Palangka Raya ini.  

Dari hasil panen sawit inilah, Koperasi Karya Bersama membayar iuran jaminan sosial ketenagakerjaan  sebesar Rp 36.800 per orang. Rinciannya, iuran JKK Rp 10 ribu, JKM Rp 6.800, dan JHT Rp 20.000. Karena anggota koperasi sebanyak 671 petani, maka total iurannya  Rp 24.692.800 per bulan.

”Melalui kebun plasma sawit ini, warga Desa Tanjung Rangas mendapat penghasilan Rp 2 juta per tiga bulan. Warga juga punya jaminan sosial ketegakerjaan,” kata Subli.  

Dengan cara seperti ini, kata Subli, petani merasa tidak dibebani dan direpotkan dengan iuran jaminan sosial. Dirinya sebagai Kader Penggerak BPJS Ketenagakerjaan juga tidak perlu menarik iuran jaminan sosial satu per satu dari 671 anggota koperasi. Tunggakan pun bisa dihindari.   

”Kami belum pernah menunggak. Bahkan kami selalu bayar iuran untuk tiga bulan ke depan,” kata pria yang berprofesi sebagai guru di SMP Negeri 5 Kuala Pembuang ini.  

Sebagai Kader Penggerak BPJS Ketenagakerjaan, Subli mengakui mendapat komisi dari lembaga yang dulunya bernama Jamsostek itu. Namun, komisi bukan tujuan utamanya. Keinginan utamanya adalah pekerja memiliki jaring pengaman ketika mengalami risiko sosial karena hilangnya penghasilan sebagai dampak kecelakaan kerja, hari tua, dan kematian. Kepedulian terhadap petani inilah yang menjadikan dirinya mau menjadi Kader Penggerak.  

”Kehidupan adalah tentang kepedulian. Berbagai kenikmatan yang kita rasakan sampai hari ini berasal dari orang-orang yang peduli kepada kita. Karena itulah kita juga harus peduli dengan orang lain juga. Salah satunya dengan mengajak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan,” ucapnya.  

Sementara itu Kepala Bidang Pemasaran BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sampit Fajar Kunaefi mengatakan, model iuran jaminan sosial yang diterapkan warga Desa Tanjung Rangas bisa diadopsi desa-desa lain yang berada di wilayah perkebunan. Apalagi Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan yang menjadi wilayah kerja BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sampit terdapat lebih dari 50 perusahaan perkebunan kelapa sawit.

”Masih banyak pekerja informal yang belum terkaver oleh jaminan sosial. Hingga 31 November 2017, peserta dari tenaga kerja bukan penerima upah di wilayah kerja kantor cabang Sampit hanya 5.550 jiwa. Angka ini tinggal jauh dari tenaga kerja penerima upah yang mencapai 125.849. Karena itulah kami butuh Kader Penggerak BPJS Ketenagakerjaan, terutama untuk menjangkau pekerja informal,” ungkap Fajar, Kamis (14/12/2017).  

Dengan bantuan Kader Penggerak, BPJS Ketenagakerjaan lebih mudah menjangkau para petani.  Apabila terjadi risiko sosial baik itu kecelakaan kerja, kematian, hari tua, maupun pensiun, maka BPJS Ketenagakerjaan akan memberikan manfaat kepada peserta dalam bentuk pelayanan maupun uang tunai. Manfaat pelayanan yang dimaksud adalah apabila terjadi kecelakaan kerja, maka pekerja dapat langsung dibawa ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan baik klinik maupun rumah sakit (trauma center) tanpa mengeluarkan biaya. Sedangkan manfaat uang tunai akan didapatkan oleh pekerja maupun ahli warisnya apabila terjadi risiko meninggal.

”Para petani dan nelayan adalah para pekerja tangguh, namun rentan terhadap risiko sosial. Jika terjadi sesuatu, maka keluarga terutama anak-anaklah yang terkena imbasnya. Untuk itulah mereka butuh jaminan sosial,” kata Fajar.  (***)

========== ===  

Catatan: Artikel ini pernah terbit di Radar Sampit edisi Desember 2017 dan meraih juara harapan dalam lomba karya jurnalistik BPJS Ketenagakerjaan tahun 2017

 

 


Menjaga Esensi Program JHT

 












Ketika peserta jaminan sosial ramai-ramai mencairkan jaminan hari tua (JHT), Hadi Mintoro tetap kukuh menyimpan di BPJS Ketenagakerjaan. Pria berusia 62 tahun ini juga tidak buru-buru mengambil, meski regulasi membolehkannya. 

Hadi Mintoro tersenyum saat mengetahui saldo JHT miliknya cukup besar. Simpanan itu dihimpun sejak ia mengawali karir di PT Kayu Tribuana Rama yang berlokasi di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng. Selama bekerja di perusahaan perkayuan tersebut, dia belum pernah sedikitpun mengambil JHT. Bahkan, ketika mengalami kesulitan finansial, Hadi tidak tergoda untuk mencairkannya. 

”Manusia tidak ada yang tidak pernah mengalami kesulitan finansial. Prinsip saya, selama saya masih bisa kerja, JHT akan tetap saya simpan,” kata Hadi di Sampit, Kamis (1/12).

Hadi paham bahwa dana JHT berbeda dengan tabungan di perbankan, yang setiap saat bisa dicairkan ketika membutuhkan. Sebab, JHT berfungsi memberikan kepastian terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak di hari tuanya nanti, bukan di hari mudanya.

”Semua orang ingin pensiun dengan nyaman dari segi keuangan, namun banyak yang lupa untuk menyusun rencana pensiun sejak dini. Alhasil, di umur yang sudah tidak muda lagi, keadaan keuangan seseorang masih jauh dari stabil,” terang Hadi yang juga Kepala Bagian Tata Usaha Kayu dan Urusan Ketenagakerjaan PT Kayu Tribuana Rama.   

Pria kelahiran Blitar 8 Juni 1954 ini bertekad hanya akan memanfaatkan JHT ketika dirinya pensiun. Meski kini usianya sudah 62 tahun, Hadi tetap mengendapkan dananya di lembaga yang dulu bernama PT Jamsostek itu. Padahal bisa saja Hadi mengambil JHT ketika usianya sudah menginjak 56 tahun.

”Karena saya masih dipercaya perusahaan untuk tetap bekerja, biarlah JHT saya tetap di BPJS. Lagipula saya masih perserta aktif BPJS karena setiap bulan perusahaan masih membayar iuran empat program jaminan sosial untuk saya,” kata Hadi.

Hadi Mintoro tidak sendiri. Ada 1.177 pekerja lainnya yang telah memasuki usia pensiun namun tetap menyimpan JHT di BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sampit. Tingginya bunga simpanan di BPJS menjadi salah satu pertimbangan peserta untuk tetap mengendapkan dananya di BPJS.   

Jumlah pekerja usia pensiun yang teguh menyimpan JHT ini bisa dibilang jauh lebih kecil dibanding pekerja yang mencairkan JHT di usia produktif. Sepanjang Januari-November 2016, ada 9.196 pekerja berbondong-bondong mencairkan dana JHT di kantor cabang Sampit, dengan alasan kena PHK. Bahkan, ada peserta yang berusaha mengelabui BPJS dengan cara memalsukan surat pengalaman kerja yang dikeluarkan perusahaan demi mencairkan JHT. Kecurangan ini dapat dicegah pegawai BPJS dengan mengkroscek ke perusahaan yang bersangkutan.

Ada juga pekerja yang berhenti bekerja dari perusahaan namun tetap mengendapkan JHT di BPJS. Yono, salah satunya. Dia berhenti bekerja di sebuah perusahaan percetakan lantaran ingin fokus mengembangkan usaha miliknya sendiri.

”JHT belum saya ambil meski berhenti bekerja. Justru iuran JHT ingin saya lanjutkan dengan mendaftar sebagai peserta kategori bukan penerima upah,” kata Yono.

Yono berpendapat, jika masih memiliki penghasilan yang cukup, maka mencairkan JHT pada usia dini justru merugikan diri sendiri. ”Jika kita berorientasi masa depan, lebih baik biarkan JHT kita berkembang di BPJS demi masa tua nanti. Apalagi hasil pengembangan JHT di atas bunga deposito,” saran Yono.

Sementara itu pengamat ekonomi Herry Hermawan mengatakan, setiap manusia bakal menua dan tingkat produktivitasnya berkurang, bahkan ada yang sama sekali tidak produktif. ”Lebih tragis lagi bila belum sempat tua sudah tidak produktif, misal karena kecelakaan kerja,” kata Herry yang juga seorang akuntan publik.

Oleh karena itu, perlu upaya edukasi kepada pekerja, bahkan kepada pelajar di sekolah, bahwa dana pensiun atau jaminan di hari tua wajib disiapkan sedari dini. Seberapapun penghasilan yang diterima, harus disisihkan untuk persiapan hari tua. Jangan sampai masa muda foya-foya, tua sengsara.

”Lakukan pengeluaran yang tepat, hemat, dan produktif (THP). Hati-hati terhadap tawaran kredit. Silahkan kredit tapi dengan pertimbangan prinsip THP,” ujarnya.

Herry juga berpesan kepada para pekerja untuk hati-hati dalam mempercayakan dana yang dipersiapkan untuk hari tua kepada pihak lain. Tidak sedikit pihak lain tersebut yang jsutru merugikan peserta program hari tua. ”Jangan mudah terpukau hasil pengembangan yang di luar kewajaran,” ujar pendiri Kantor Jasa Akuntasi (KJA) Harmoni Bisnis Asia ini.

Secara terpisah, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sampit Agus Suprihadi mengatakan, esensi program JHT adalah untuk kepentingan hari tua. Program JHT adalah tabungan wajib yang dibebankan negara kepada pemberi kerja dan pekerja, untuk kepentingan hari tua atau masa depan pekerja. Iurannya sebesar 5,7 persen dengan pembagian 2 persen ditanggung pekerja dan 3,7 persen ditanggung perusahaan.

Dana JHT hanya bisa dimanfaatkan ketika pekerja berhenti bekerja dan tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengiur secara permanen, baik karena pensiun, meninggal dunia, maupun karena cacat tetap total. Dalam aturan yang lama, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2015, pencairan JHT hanya dapat dilakukan setelah masa kepersertaan 10 tahun. Jumlah dana yang dapat diklaim juga dibatasi yakni 30 persen dari jumlah JHT untuk kepemilikan rumah atau 10 persen untuk keperluan lain, sisanya dapat diambil setelah peserta berusia 56 tahun.

Namun, sejak adanya PP No 60 Tahun 2015 tentang Perubahan PP No 46 Tahun 2015, pekerja yang kena PHK bisa mencairkan JHT. Aturan ini membuat klaim JHT melonjak, termasuk di kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sampit. Puncaknya terjadi ketika beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kotawaringin Timur merumahkan ribuan karyawan pada medio 2016.

”Kalau ditotal selama 11 bulan terakhir, ada 9.196 pekerja yang mencairkan JHT di Sampit. Nominalnya lebih dari Rp 64,6 miliar. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (Rp 6,5 miliar), Jaminan Kematian (Rp 4,1 miliar), dan Jaminan Pensiun,” ujarnya di sela-sela peringatan HUT ke-39 BPJS Ketenagakerjaan 5 Desember lalu.

Meskipun kena PHK, pekerja tidak harus menarik JHT. Mereka yang berhenti bekerja sebelum usia pensiun akan mendapatkan kompensasi dari perusahaan sesuai Undang-Undang No 13 Tahun 2003 yang mengatur soal pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan penggantian hak. Karena dianggap sudah terproteksi dengan pesangon dan masih berusia produktif, dana JHT menjadi tidak relevan untuk dicairkan saat kena PHK. Dengan usia yang masih produktif, pekerja diharapkan bisa kembali masuk ke dunia kerja dan kembali mengiur JHT.

Wacana untuk mengembalikan aturan pencairan dana JHT ke aturan lama pun sudah mencuat, yakni JHT bisa cair setelah kepesertaan lima tahun satu bulan. Untuk kembali ke aturan lama, pemerintah harus merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60/2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46/015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua. Pemerintah juga harus merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 29/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.

"Kembali ke aturan lama bukan berarti mempersulit pekerja mencairkan JHT, tapi demi melindungi masa tua pekerja agar lebih sejahtera. Inilah esensi dan filosofi program JHT," pungkasnya. (***)

========== ===  

Catatan: Artikel ini pernah terbit di Radar Sampit edisi 10 Desember 2016 dan meraih juara harapan dalam lomba karya jurnalistik BPJS Ketenagakerjaan tahun 2016

Minggu, 16 Mei 2021

Menularkan Kebaikan melalui JKN

Pemerintah Kabupaten (Pemkab)  Kotawaringin Timur akan mendaftarkan semua penduduk yang belum terkaver Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tanpa memandang status sosial. Iuran bagi warga mampu maupun warga miskin akan ditanggung anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). 

Pemkab Kotawaringin Timur dikejar waktu untuk mencapai target Universal Health Coverage (UHC) per 1 November 2018. Beragam upaya dilakukan. Mulai dari integrasi jamkesda ke dalam JKN, penerbitan Instruksi Bupati Kotawaringin Timur Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Kesehatan, dan menyiapkan Peraturan Daerah Kotawaringin Timur tentang JKN yang Dibiayai oleh APBD.

Sejak awal 2017, Pemkab Kotawaringin Timur berupaya mengintegrasikan 24 ribu peserta program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke dalam program JKN. Namun, proses integrasi tersendat karena proses verifikasi warga miskin berjalan lambat. Hingga akhir Juli 2018, hanya 6.000-an peserta Jamkesda yang terintegrasi JKN.   

Selain integrasi JKN, Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi menerbitkan Instruksi Bupati Kotawaringin Timur Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Isinya, bupati menginstruksikan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kotawaringin Timur untuk mensyaratkan kepesertaan JKN bagi badan usaha yang melakukan proses perizinan terkait usaha dan perpanjangan izin terkait usaha. Artinya, seluruh badan usaha wajib mendaftarkan pekerja beserta anggota keluarga ke dalam JKN.

”Langkah-langkah di atas sebagai upaya Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur mencapai target UHC per 1 November 2018,” kata Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi di Sampit.

Kenyataannya, masih banyak warga yang belum terkaver JKN. Data BPJS Kesehatan Cabang Sampit tercatat, penduduk Kotawaringin Timur yang belum terdaftar JKN per 31 Juli 2018 mencapai 93.729 jiwa atau 22,89 persen dari total penduduk 409.502 jiwa. Sedangkan yang sudah menjadi peserta JKN 315.773 jiwa atau 77,11 persen. Untuk mencapai UHC, minimal 95 persen penduduk harus  terkaver JKN.  

Melihat masih banyak masyarakat yang belum terkaver JKN, DPRD Kotawaringin Timur tak tinggal diam. Legislatif berinisiatif menyusun Peraturan Daerah tentang JKN yang Dibiayai oleh APBD. Dengan peraturan ini, nantinya Pemkab Kotawaringin Timur tidak perlu lagi memandang status sosial dalam menyalurkan dana penerima bantuan iuran (PBI) program JKN. Bagi warga ekonomi menengah atas yang belum terdaftar, diperbolehkan menjadi peserta PBI dengan layanan kelas III.   

”Tak perlu verifikasi warga miskin lagi. Kami ingin menyediakan regulasi sesederhana mungkin. Kalau si kaya mau layanan kelas III, boleh saja masuk peserta PBI yang dibiayai pemkab. Tapi kalau tidak mau kelas III, harus daftar sendiri di kelas I atau kelas II`. Jadi, tak ada alasan lagi tidak ikut JKN,” kata Ketua Badan Legislasi DPRD Kotawaringin Timur Dadang H Syamsu, Kamis (23/8/2018).       

Perda tersebut menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun rencana kebijakan pembiayaan JKN. Tujuannya, agar tersedia dana iuran pembiayaan program JKN bagi penduduk di Kabupaten Kotawaringin Timur yang dibiayai oleh APBD dengan jumlah tercukupi, serta tersalurkan secara adil dan merata.     

Ada tiga persyaratan penerima program ini. Penduduk yang diusulkan pemda sebagai peserta JKN harus memiliki kartu KK dan/atau KTP elektronik, bukan penerima upah, dan belum terdaftar sebagai peserta JKN. Perda ini telah rampung dibahas oleh DPRD. ”Kami optimis perda ini bisa ditetapkan dan dilaksanakan pada awal September 2018,” ucap Dadang H Syamsu.   

Komitmen Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur untuk ikut menjaga keberlangsungan program JKN tidak hanya dengan mendaftarkan semua masyarakat, tapi juga membiayai iurannya. Tahun 2019, pemerintah daerah akan menganggarkan lebih dari Rp 24,6 miliar untuk penerima bantuan iuran (PBI). Ini bisa mengkaver iuran lebih dari 89 ribu jiwa dengan asumsi iuran Rp 23 ribu per jiwa per bulan.   

”Ini sebagai bentuk dukungan nyata pemda untuk ikut bergotong royong membiayai JKN, agar semua tertolong. Kami ingin menularkan kebaikan melalui program JKN,” kata Dadang.     

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kotawaringin Timur juga telah bergerak, meski peraturan daerah belum ditetapkan dan diundangkan. Sosialisasi dan pendataan calon peserta telah dilakukan hingga ke desa-desa. Tujuannya, setelah perda ditetapkan dan dilaksanakan, program JKN yang dibiayai oleh APBD bisa langsung berjalan. Dengan cara di atas, dinkes yakin target UHC pada 1 November 2018 bisa tercapai.  

Meski perda telah disiapkan dan pendataan telah dilakukan, ternyata masih ada kekhawatiran dalam mencapai target UHC akhir tahun 2018. Banyak penduduk yang belum memiliki KTP elektronik, terutama yang tinggal di pelosok. Padahal, KTP menjadi syarat mutlak menjadi peserta JKN.  

Dari total 283.000 penduduk wajib KTP, masih ada 10 persen yang belum punya dokumen kependudukan. Masalah ini pun direspon Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kotawaringin Timur dengan melakukan perekaman KTP elektronik ke kantor-kantor desa. Bahkan petugas rela datang ke rumah warga yang sedang sakit.    

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Kotim Agus Suryo Wahyudi optimis perekaman KTP bisa segera dirampungkan. Dalam sehari, disdukcapil dapat melakukan perekaman 150 hingga 300 KTP dengan menggunakan metode jemput bola ke desa-desa. Melalui metode tersebut, petugas juga memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya memiliki KTP, terutama untuk kepengurusan jaminan kesehatan.    

Pertumbuhan peserta JKN pun diiringi dengan perbaikan fasilitas kesehatan di 20 puskesmas yang tersebar di 17 kecamatan. Sebagai contoh, dinkes menjadikan Puskesmas Parenggean sebagai Rumah Sakit Pratama.

RSUD dr Murjani Sampit juga tak lepas dari sentuhan pembangunan. Tahun 2018, Pemkab Kotawaringin Timur menganggarkan dana Rp 149,8 miliar untuk pembangunan gedung bedah sentral dan pelayanan terpadu.    

Wakil Direktur RSUD dr Murjani Sampit dr Yudha menerangkan, proyek tersebut terdiri dari dua gedung yang terkoneksi. Gedung RSUD pada bagian depan akan difungsikan sebagai gedung pelayanan terpadu. Pada lantai satu untuk lahan parkir, lantai dua untuk lobby utama rawat jalan, lantai tiga dan lantai empat difungsikan sebagai ruang poliklinik, dan lantai lima difungsikan sebagai rawat inap serta very important person (VIP) dan very very important person (VVIP).

Sementara, untuk gedung kedua yang merupakan instalasi bedah sentral yang nantinya pada lantai 1 difungsikan sebagai ruang radiologi dan bank darah. Lantai 2 difungsikan sebagai Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang laboratorium, lantai 3 ruang Intensive Care Unit (ICU) dan ruang Hemodialisa (cuci darah) dan lantai 4 difungsikan sebagai gedung bedah sentral dan ruang sterilisasi sentral.  Pembangunan fasilitas ini dilakukan seiring meningkatnya jumlah kunjungan pasien rawat jalan maupun rawat inap di era JKN.

Tidak hanya pemerintah daerah yang punya komitmen menjaga sustainibilitas JKN. Aliansi Penggerak Industri Usaha Mirko Kecil dan Menengah (API-UMKM) Kotawaringin Timur juga ikut mendorong 200 anggotanya menjadi peserta JKN. Dengan ikut JKN, karyawan yang sakit ditanggung JKN. Pengeluaran pelaku UMKM untuk kesehatan karyawan pun menjadi lebih terukur.   

”Iuran yang harus dibayarkan tidak besar jika dibandingkan dengan manfaatnya. Dengan mengeluarkan sedikit uang layaknya sedekah, peserta JKN ikut andil menularkan kebaikan untuk berjuta sesama,” ujar Ketua API-UMKM Kotawaringin Timur Ahmad Sofyan, Jumat (24/8).      

Sementara itu Kepala BPJS Kesehatan Cabang Sampit Adrielona mengatakan, pemerintah daerah punya peran penting dalam menjaga sustainibilitas program JKN. Di antaranya, memperluas cakupan kepesertaan, peningkatan kualitas pelayanan, dan peningkatan kepatuhan.     

”Dukungan tersebut sudah terasa di sejumlah daerah, termasuk Kotawaringin Timur. Kami melihat Pemkab Kotawaringin Timur punya komitmen besar dalam upaya memperluas cakupan kepesertaan dengan memastikan seluruh penduduknya menjadi peserta JKN,” ujar Adrielona kepada Radar Sampit, Senin (22/8).  

Dia menerangkan, BPJS Kesehatan Cabang Sampit membawahi lima kabupaten, yakni Kotawaringin Timur, Seruyan, Kotawaringin Barat, Lamandau, dan Sukamara. Hingga 31 Juli 2018, jumlah peserta JKN di Kabupaten Kotawaringin Timur 315.773 jiwa atau 77,11 persen dari total jumlah penduduk, Kotawaringin Barat 180.181 jiwa (73,09 %), Lamandau 61.804 jiwa (77,52 %), Seruyan 106.380 jiwa (73,50 %), dan Sukamara 39.952 jiwa (67,07 %).   

Adrielona berharap kabupaten lain bisa melakukan terobosan-terobosan seperti Kabupaten Kotawaringin Timur dalam mencapai target UHC. Badan usaha skala besar, UMKM, dan semua masyarakat peserta mandiri juga diminta ikut berperan dalam menjaga keberlangsungan JKN dengan tertib iuran. (***)

=========

Catatan: Artikel ini pernah diterbitkan di Radar Sampit edisi 27 Agustus 2018 dan meraih juara 1 dalam Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan 2018


Butuh Berjuta Cinta untuk Sehatkan Bangsa

Masih banyak warga yang enggan mendaftar program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) secara mandiri karena merasa sehat. Sementara yang sakit berbondong-bondong mendaftar. Ketika sudah sembuh, peserta ogah membayar premi bulanan. Rendahnya cakupan kepesertaan dan minimnya tingkat kolektabilitas iuran ini masih menjadi persoalan besar yang dihadapi BPJS Kesehatan.     

Data BPJS Kesehatan Cabang Sampit yang mencakup Kabupaten Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Seruyan, Lamandau, dan Kabupaten Sukamara mencatat, ada 965.601 penduduk yang tersebar di lima kabupaten tersebut. Dari jumlah itu, baru 605.988 penduduk yang terdaftar atau 63 persen. Masih ada 359 ribu jiwa atau 37 persen dari total penduduk yang belum masuk program JKN-KIS.

Sementara tingkat kolektabilitas iuran peserta mandiri (pekerja bukan penerima upah) di wilayah kerja BPJS Kesehatan Cabang Sampit hanya 53,67 persen. Padahal premi JKN-KIS jauh lebih murah dibanding asuransi swasta lainnya. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, premi kelas I Rp 80 ribu per orang setiap bulan, kelas II Rp 51 ribu, sedangkan kelas III hanya Rp 30 ribu.  

”Banyaknya tunggakan dari peserta mandiri tidak hanya terjadi di wilayah kerja BPJS Kesehatan Cabang  Sampit, tapi juga di seluruh Indonesia. Kolektabilitas hanya 50 sampai 60 persen,” kata Kepala BPJS Cabang Sampit Atulyadi, Jumat (16/6/2017).  

Jumlah peserta JKN dan kolektabilitas iuran harus digenjot agar berimbang dengan biaya pelayanan kesehatan. Sebab, kata Atulyadi, hampir semua penderita katastropik (penyakit berbiaya tinggi) sudah masuk dalam kepesertaan JKN. Dari hasil screening BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia tahun 2016 saja sudah terjaring 5.531 peserta risiko tinggi (diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dan jantung koroner).  

Jumlah penderita katastropik memang jauh lebih kecil jika dibanding dengan jumlah peserta JKN yang mencapai 177.443.940, namun duit yang dikeluarkan untuk membiayai peserta yang sakit sangat besar. Sebagai ilustrasi, seseorang yang gagal ginjal butuh cuci darah dua kali per pekan atau delapan kali per bulan. Biayanya mencapai Rp 8 juta per bulan dan harus dilakukan seumur hidup.  Artinya, setiap bulan dibutuhkan sokongan dari 166 peserta sehat dengan asumsi iuran Rp 51 ribu (kelas 2). Lebih besar lagi adalah penyakit jantung dengan biaya operasi Rp 150 juta, sehingga dibutuhkan iuran dari 2.941orang yang sehat dengan asumsi peserta membayar iuran sebesar Rp 51 ribu (kelas 2).  Besaran tarif ini tercantum lengkap dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PMK  Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional.

Rendahnya kolektabilitas iuran dari peserta mandiri membuat biaya pelayanan kesehatan masih bergantung pada iuran dari pekerja penerima upah (PPU) yang dibayar perusahaan, penerima bantuan iuran (PBI) yang dibayar oleh pemerintah, serta peserta dari kalangan PNS, TNI, Polri, dan BUMN. 

Situs resmi BPJS Kesehatan menyebut, ada 92.020.408 warga miskin yang masuk kategori peserta penerima bantuan iuran (PBI) APBN. Dengan premi Rp 23 ribu per jiwa, pemerintah menggelontorkan Rp 2,1 trilun per bulan. Sedangkan peserta PBI yang ditanggung pemerintah daerah mencapai 16.871.540 dengan nominal iuran Rp 338 miliar per bulan.  Tak ketinggalan sektor perusahaan swasta juga berkontribusi dalam program JKN-KIS dengan jumlah peserta 24.106.608 jiwa.  

”Perusahaan-perusahaan besar swasta rata-rata sudah mengikutsertakan karyawannya dalam program JKN-KIS,” ujar Atulyadi. 

Kalangan pengusaha pun menyambut baik program JKN. Seperti halnya Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kabupaten Kotawaringin Timur Susilo. Dia memahami pentingnya prinsip gotong royong dalam program JKN-KIS dengan tertib membayar iuran. Iuran bulanan yang tidak bisa diambil kembali seperti halnya asuransi lain pun tak menjadi soal. Baginya, program JKN-KIS sebagai bentuk gotong-royong dalam mewujudkan bangsa yang sehat.   

”Ketika kita sedang sehat, memang tidak merasakan memanfaatkan layanan JKN secara langsung. Tapi ini kewajiban warga negara yang baik. Selain untuk antisipasi kalau-kalau harus berobat dengan biaya yang cukup besar, iuran yang dibayarkan setiap bulannya merupakan bentuk gotong royong kita dalam membantu peserta JKN yang sedang sakit,” kata pengusaha sukses di bidang jasa konstruksi ini, Kamis (29/6/2017).

Selain mendaftarkan dirinya dan keluarga sebagai peserta mandiri, Susilo juga mendaftarkan 800 karyawannya dalam program JKN. Dia berpandangan, mengikutsertakan seluruh karyawan dalam program JKN-KIS bukan hanya untuk menunaikan amanah  Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, tapi juga demi kepentingan perusahaan dan pekerja.  JKN memberikan akses layanan kesehatan kepada pekerja sehingga dapat meningkatkan kesehatan pekerja dan mendukung produktivitas kerja.

”Sebelum ikut program JKN, perusahaan kami harus menanggung biaya pengobatan ketika ada karyawan sakit. Sekarang, karyawan yang sakit ditanggung JKN. Pengeluaran perusahaan untuk kesehatan karyawan menjadi lebih terukur. Ini juga sebagai wujud cinta kami kepada pekerja maupun program JKN,” kata Susilo yang juga Direktur Grahacipta Silo Group ini.  

Sebagai bentuk dukungan terhadap program JKN, Kadin Kabupaten Kotawaringin Timur juga menandatangani nota kesepahaman dengan BPJS Kesehatan untuk sosialisasi program JKN kepada ribuan pelaku usaha.

”Kalangan pengusaha perlu tahu pentingnya program JKN maupun sanksi bagi yang tidak ikut program JKN. Satu contoh sanksinya, tidak mendapat layanan publik berupa perizinan maupun perpanjangan izin,” ujarnya.  

Susilo berharap kesadaran dalam mendukung program JKN tidak hanya dari perusahaan swasta dan pemerintah, tapi juga kalangan pekerja bukan penerima upah (peserta mandiri). ”Namanya gotong royong, semua elemen masyarakat harus terlibat. Butuh jutaan cinta untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang sehat,” cetus Susilo.   

Kepatuhan dalam menjalankan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial juga ditunjukkan oleh Musirawas. Perusahaan perkebunan kelapa sawit ini mendaftarkan 4.673 pekerja dalam program JKN. ”Sebagian karyawan belum ikut karena belum punya e-KTP. Itu saja kendala kami,” kata Senior Manajer Umum dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Musirawas Group Junta Marhaendra, Kamis (29/6/2017).  

Dia juga mengakui anggaran kesehatan yang dikeluarkan perusahaan lebih besar sejak mengikuti program JKN. Sebab, sebelum ikut JKN, Musirawas hanya menanggung biaya pekerja yang sakit di klinik perusahaan. Kini, perusahaan harus  membayar iuran JKN untuk seluruh pekerja.  

”Bagi kami, tidak masalah pengeluaran lebih besar. Inilah gotong royong, yang sehat menolong yang sakit. Apalagi undang-undang mengamanahkan bahwa semua warga harus masuk JKN, tanpa kecuali,” ujarnya.  

Dukungan Musirawas terhadap program JKN-KIS tidak hanya diwujudkan dengan mendaftarkan para pekerja, tapi juga menjadikan dua klinik milik Musirawas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Layananannya berupa rawat jalan dan rawat inap. Klinik perusahaan ini juga melaksanakan pengelolaan penyakit kronis (prolanis) dan berbagai program yang digagas BPJS Kesehatan. Layanan FKTP ini dibiayai dari iuran peserta yang diwujudkan dalam dana kapitasi.    

Dilihat dari realisasi biaya pelayanan kesehatan di wilayah kerja BPJS Kesehatan Cabang Sampit hingga 30 April 2017 telah mencapai Rp 47,6 miliar atau 29,5 persen dari alokasi anggaran selama 2017 sebesar Rp 161,4 miliar. Pelayanan kesehatan ini terdiri dari rawat jalan tingkat pertama, rawat inap tingkat pertama, rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, serta promotif/preventif. Sedangkan secara nasional, alokasi biaya pelayanan kesehatan tahun 2017 diperkirakan mencapai Rp 86 triliun.

Dengan biaya pelayanan kesehatan sebesar itu, dibutuhkan kesadaran dan keikhlasan seluruh masyarakat Indonesia untuk ambil bagian dalam membangun bangsa yang sehat. Kesadaran bergotong royong yang diwujudkan dengan tertib iuran mutlak diperlukan demi menjaga keberlangsungan program JKN-KIS. (***) 

=============== 

Catatan: Artikel ini pernah diterbitkan di Radar Sampit edisi 30 Juni 2017 dan meraih juara harapan dalam Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan 2017.  

Jumat, 21 Oktober 2016

Merajut Solidaritas melalui Program JKN-KIS

Prinsip gotong royong dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dipahami betul oleh Kussudiyono. Terbukti, warga Jalan S Parman Sampit yang menjadi peserta mandiri JKN-KIS ini selalu taat membayar iuran, meski masih sehat walafiat. Dia pun mengikhlaskan premi bulanan yang tidak bisa diambil kembali, seperti layaknya asuransi swasta lain. Baginya, program JKN-KIS sebagai bentuk gotong-royong dan solidaritas di bidang kesehatan.  
”Peserta JKN yang kebetulan tidak pernah memanfaatkan layanan JKN karena sehat, tidak perlu merasa rugi. Rajin membayar iuran setiap bulan bukanlah pekerjaan sia-sia. Selain untuk antisipasi kalau-kalau harus berobat dengan biaya yang cukup besar, iuran yang dibayarkan setiap bulannya merupakan bentuk solidaritas terhadap sesama peserta JKN yang sedang sakit,” kata Kussudiyono yang juga pengusaha warung kelontongan di Sampit, Kamis (15/9/2016).
Hal senada disampaikan Widodo, Manajer Keuangan dan Umum PT Sampit Putra Perdana. Perusahaan penerbitan tempatnya bekerja mengikutsertakan seluruh karyawan dalam program JKN-KIS bukan hanya untuk menunaikan amanah  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, tapi juga demi kepentingan perusahaan dan pekerja.   
”Sebelum ikut program JKN, perusahaan kami harus menanggung biaya pengobatan ketika ada karyawan sakit. Sekarang, karyawan yang sakit ditanggung BPJS. Pengeluaran perusahaan untuk kesehatan karyawan menjadi lebih terukur,” terang Widodo di ruang kerjanya, Kamis (15/9).
Meski pengobatan karyawan ditanggung BPJS, perusahaannya tetap menginginkan seluruh karyawan sehat dan produktif. Caranya, dengan mengagendakan olahraga rutin bagi karyawan berupa futsal setiap akhir pekan. Tak hanya itu, pihaknya juga menyelenggarakan senam rutin di Taman Kota Sampit setiap Minggu pagi untuk karyawan dan masyarakat umum.  
Setiap Minggu pukul 05.00 WIB, crew senam sudah menyiapkan sound system, panggung, sekaligus instruktur. Semua biaya operasional senam yang mencapai Rp 1 juta ditanggung PT Sampit Putra Perdana. Pengeluaran mingguan ini sebanding dengan antusiasme warga Sampit dan sekitarnya yang selalu memadati kawasan Taman Kota Sampit untuk ikut senam.
”Ini sebagai upaya kami menyehatkan karyawan dan masyarakat umum, sekaligus sebagai bentuk gotong royong kami dalam program JKN-KIS, selain iuran bulanan kepada BPJS,” ujar Widodo. 
Sementara itu, bagi mereka yang didera penyakit, kehadiran progam JKN-KIS bak dewa penolong yang memberi harapan kesembuhan. Apalagi preminya terjangkau tanpa mempertimbangkan sehat atau sakit, muda maupun tua. Seperti yang dirasakan pasangan suami istri Fery dan Anifah, warga Sampit. Putri pertama mereka, Fiona Puspita Sari, menderita thalassemia; suatu penyakit kelainan darah yang menyebabkan sel darah merah tidak berfungsi secara normal.   
Fiona diketahui menderita thalassemia sejak usia 4 bulan. Sejak saat itu hingga kini usianya 10 tahun, Fiona harus menjalani transfusi tiga hingga empat kantung darah golongan AB setiap bulan dan minum obat saban hari. Harga per kantong darah Rp 360 ribu, belum termasuk biaya jasa perawatan rumah sakit.
”Fiona juga harus minum dua pil exjade 250 mg setiap hari. Dulu kami beli di Jawa Rp 100 ribu per butirnya. Pokoknya, biaya pengobatan tak kurang dari Rp 5 juta per bulan,” kata Anifah saat ditemui Radar Sampit di rumahnya, Gang Panglima Balai, Jalan Muchran Ali, Sampit, Kamis (15/9).
Sebelum ada BPJS, dia hanya menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk mendapatkan keringan berobat. Namun ketika kondisi Fiona memburuk dan harus dirujuk ke Jawa, SKTM tidak berlaku lagi. Mau tak mau, dia harus merogoh kantong pribadi.
”Fional pernah dirujuk ke Rumah Sakit dr Sarjito Yogyakarta. Di sana, uang Rp 25 juta habis,” kata perempuan yang berdagang makanan di kantin SMKN 1 Sampit ini.
Sejak adanya BPJS pada 2014, dia mendaftar program JKN sebagai peserta mandiri kelas II. Iurannya kini Rp 51.000 per orang. ”Sejak ada program JKN, beban kami jauh berkurang. Kini kami bisa menyandarkan harapan  hidup anak kami kepada BPJS Kesehatan. Soal jumlah iuran bulanan, itu tidak ada apa-apanya dibanding manfaat yang kami dapatkan. Apalagi pengobatan thallasemia ini harus dilakukan seumur hidup,” kata Anifah seraya memangku Fional di barak yang di kontraknya Rp 400 ribu per bulan.
Manfaat program JKN juga dirasakan oleh Cicie. Dia harus berjuang merawat anaknya yang berkebutuhan khusus. Setiap bulan harus menjalani terapi di Rumah Sakit Umum Daerah dr Murjani Sampit. Bahkan dia juga pernah merujuk anaknya ke RS Cipto Mangunkusumo Jakarta selama satu bulan.   
Sampai sekarang, kata Cicie, anaknya membutuhkan perlakukan khusus. Tidak boleh kena debu, asap, bising, maupun angin kencang. Sedikit saja lengah dalam pengawasan, pasti ke rumah sakit. ”Kalau bukan peserta JKN-KIS, dari mana kami membayar semua itu,” kata pegawai negeri yang bertugas di SMKN 4 Sampit ini.
Tak hanya itu, sewaktu melahirkan anak pertama, Cicie harus menjalani operasi caesar. Hal serupa terjadi pada kelahiran anak keduanya. Beruntung dirinya saat itu menjadi peserta Askes. ”Sejak namanya PT Askes hingga kini menjadi BPJS Kesehatan, saya selalu dibantu. Semua layanan kesehatan yang saya dapatkan, ditanggung BPJS,” kata Cicie.
Kasus di atas merupakan sedikit contoh betapa pentingnya gotong-royong dan membangun solidaritas di bidang kesehatan; yang sehat membantu yang sakit. Namun, persoalan yang dihadapi BPJS Kesehatan saat ini cukup pelik. Masih banyak warga yang enggan mendaftar secara mandiri karena masih merasa sehat. Sementara yang sakit berbondong-bondong mendaftar JKN. Ketika sudah sembuh, menunggak premi bulanan. Hal ini mengakibatkan sirkulasi keuangan BPJS Kesehatan tidak berimbang.  
”Orang-orang yang sehat kebanyakan menunda daftar karena mereka merasa belum membutuhkan. Hal ini membuat pendapatan dan pembiayaan kita tidak seimbang,” kata Kepala BPJS Kesehatan Cabang Sampit Atulyadi.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan Cabang Sampit, tingkat kolektibilitas iuran peserta mandiri di Kabupaten Kotawaringin Timur per September sebesar 61,3 persen atau Rp 6,2 miliar. Tunggakannya Rp 3,8 miliar. Padahal premi JKN-KIS jauh lebih murah dibanding asuransi swasta lainnya. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, premi kelas I Rp 80 ribu per orang setiap bulan, kelas II Rp 51 ribu, sedangkan kelas III hanya Rp 30 ribu.
Dengan mengeluarkan sedikit uang layaknya sedekah, peserta JKN-KIS yang kini mencapai 168.807.302 jiwa ikut andil memberikan manfaat yang besar untuk kesehatan bangsa. Kesadaran bergotong royong dan rasa solidaritas yang diwujudkan dengan tertib iuran juga dapat mencegah ketimpangan sirkulasi keuangan BPJS Kesehatan. Dampak ikutannya, 25.654 provider JKN-KIS bisa maksimal memberikan layanan bagi peserta.   

=====================  

Catatan: Artikel ini pernah diterbitkan di Radar Sampit edisi 17 September 2016 dan meraih juara 1 dalam Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan 2016.  

Kamis, 01 Maret 2012

Hasto, Sang Pelaut yang Kini Menjadi Pilot

Ganti Haluan karena Empat Saudara Kandungnya Jadi Pilot

Hasto Atmardi Palwono adalah anak ke delapan dari sembilan bersaudara. Meski awalnya hanya dari keluarga sederhana di Ambarawa, dia dan empat saudaranya bisa menjadi pilot. Bahkan enam keponakan dan dua sepupunya juga mengikuti jejak pendahulunya, yakni menjadi pilot.

Karir Hasto cukup berliku. Usai lulus SMU, dia masuk Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PLP) Curug angkatan 43 (sekarang Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia), namun tidak selesai. Pria asal Ambarawa, Semarang, ini lantas masuk sekolah pelayaran di Balai Pendidikan dan Latihan Pelayaran (BPLP) Semarang dan akhirnya menjadi pelaut.
Melihat kehidupan empat kakaknya yang berprofesi sebagai pilot cukup menjanjikan, dia pun banting setir dengan masuk ke Deraya Flying School tahun 1990. “Saya melihat kakak-kakak saya yang jadi pilot, ekonominya cukup bagus. Saya ganti halauan dari pelayaran ke penerbangan. Lagi pula saat itu sedang booming penerbangan,” ucap Hasto.
Setelah lulus di Deraya Flying School, dia lantas mendapatkan beasiswa dari Bouraq untuk mengambil Commercial Pilot License (CPL) di Juanda Flying School.
Saat ditemui Radar Sampit di Bandara Juanda Surabaya, Senin (15/6), dia mengaku bangga dengan keberhasilan yang dicapai keluarganya. Empat kakaknya yang menjadi pilot adalah Capt. Bambang Triyogo (57), Capt. Wahyu Djoko Triyono (55), Capt. Gentur Djoko Sadhono (53), dan Capt. Imbuh Sasmito Yuwono (48).
Bambang merupakan anak kedua yang memulai karir di Pelita Air Service, lalu ke Gatari Air, Indonesia Air Transport (IAT), dan saat ini di Airfast. Sedangkan Wahyu Djoko (anak ketiga) setelah menyelesaikan PLP Curug angkatan 29 tahun1978, bergabung dengan Dirgantara Air Service, lalu pindah ke Airfast sejak 1992 hingga sekarang. Sementara Gentur (anak kelima) menjadi taruna PLP Curug angkatan 31 tahun 1980, namun tidak selesai. Lantas Gentur memulai karir di Pelita Air Service sebagai pramugara tahun 1982 sambil menjalani pendidikan PPL di Deraya Flying School dan CPL di Juanda Flying School. Setelah lulus, Gentur tetap di Pelita Air Service.
Sedangkan track record Imbuh Sasmito (anak ketujuh) hampir mirip dengan Hasto, yakni mengawali karir sebagai pelaut. Pria yang sempat berlayar selama enam tahun ini banting setir ke Deraya Flying School pada tahun 1994, lalu mendapatkan beasiswa dari Merpati untuk mendapatkan CPL Multi Engine di New Zealand. Kini Imbuh Sasmito menjadi pilot Boeing 737-900ER di Lion Air. ”Kalau kumpul, ya jadi keluarga pilot,” ucap Hasto sambil menunggu penumpang Kalstar tujuan Sampit boarding di Bandara Juanda.
Kalau dilihat dari latarbelakang keluarga, ayah Hasto hanya sebagai mantri kesehatan di desa yang menyambi menggarap sawah. Sementara ibunya membantu ekonomi keluarga dengan cara berjualan. Dengan keadaan seperti ini, Suharlan (alm) dan Siti Mariyah (alm) hanya mampu menyekolah sembilan anaknya (tujuh pria dan dua perempuan) hingga tingkat SMU. Selepas itu, anak-anaknya berpikir keras mencari sekolah yang dibiayai Negara.
Kisah keluarga pilot ini pun diawali oleh kakak nomor dua, yakni Capt. Bambang Triyogo. Sedangkan kakak sulung, Gatot Budisutopo, memilih menjadi polisi melalui Akademi Kepolisian lulusan tahun 1971. Sebenarnya Bambang sempat mengikuti jejak si sulung dengan masuk AKABRI, namun Bambang memilih berkarir di penerbangan sipil dan mengikuti pendidikan di Akademi Penerbangan Indonesia (API) di Curug.
Dari Bambang Triyogo inilah profesi pilot menurun ke adik-adiknya, termasuk Hasto Atmardi Palwono. Saat menjadi pilot sejak 2003, Hasto juga sempat berpindah-pindah maskapai penerbangan. Mulai dari pilot Bouraq, Bali Air, Adam Air, Lorena, Sriwijaya Air, hingga saat ini menjadi pilot Kalstar jenis Boeing 737-900.
Setiap hari dia menerbangi rute Jakarta-Sampit-Surabaya-Sampit-Jakarta-Pangkalan Bun-Semarang-Pangkalan Bun-Jakarta. Sebanyak empat bandara dia sianggahi setiap hari, yakni Sampit, Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Pangkalan Bun. Dari lima bandara tersebut, Bandara H Asan Sampit yang levelnya paling bawah.
”Jika Dibanding antara Bandara H Asan Sampit dengan Bandara Iskandar Pangkalan Bun, jelas lebih unggul Pangkalan Bun. Di Sampit runwaynya pendek, tapi cukup juga. Landing malam hari juga belum bisa di Sampit,” kata pria yang telah memiliki 14 ribu jam terbang di Boeing ini.
Selain keterbatasan sarana Bandara H Asan Sampit, Hasto juga mengungkapkan kendala yang dihadapi di Sampit setiap pagi, yakni kabut asap. Bandara H Asan sering kali diselimuti asap kebakaran lahan saat pagi hari di musim kemarau. Kalstar dari Jakarta nomalnya tiba di Sampit sekitar pukul 07.15 WIB, namun seringkali terlambat (delay) karena kabut asap.
”Pernah juga sudah di atas Sampit, karena ada kabut asap harus mendarat di Banjarmasin. Setelah agak siang, asap di Sampit biasanya hilang tersapu angin,” ungkap pria kelahiran Tegal, 5 Maret 1966 ini.
Hasto juga menceritakan rutinitas yang penuh kedisiplinan.
Mulai bangun pukul 03.00 dini hari, Hasto berangkat dari rumahnya ke Bandara Soekarno-Hatta pukul 03.30 WIB. Sebagai Kapten dia harus memberi contoh kedisiplinan terhadap para anak buahnya. Jika berangkat kerja terlambat, maka akan berdampak panjang, yakni terjadi keterlambatan beruntun di delapan jadwal penerbangan Kalstar.
Pengalaman mendebarkan pun pernah dia alami saat menerbangkan pesawat HS 748 di Manado. Pesawat baling-baling yang dia piloti, mesinnya mati satu sehingga penumpang panik. ”Penumpang tahu saat mesin mati, karena baling-balingnya berhenti,” ungkap suami dari Titin Syahrawati ini.
Sebenarnya, lanjut bapak dua anak  ini, dengan satu mesin pesawat masih bisa terbang dan mendarat dengan baik. “Tapi namanya penumpang tahu mesin mati satu, pasti heboh,” kisahnya.
Dia juga pernah mengalami mati satu mesin saat menerbangkan Boeing 737-200 di Manado. Namun penumpang tetap tenang karena tidak tahu bahwa satu mesin mati. ”Mesin Boeing tidak kelihatan saat mati, beda dengan pesawat baling-baling,” kata Hasto seraya menuju ruang pilot untuk bersiap-siap take off dari Bandara Juanda menuju Sampit. (yit)

Biodata
Nama: Hasto Atmardi Palwono
TTL   : Kendal, 5 Maret 1966

Pendidikan:
PPLP Curug Angkatan 43
BPLP Semarang
Deraya Flying School
Juanda Flying School

Karir:
Pilot Bouraq
Pilot Bali Air
Pilot Adam Air
Pilot Lorena
Pilot Sriwijaya Air
Pilot Kalstar Aviation