Selasa, 18 Mei 2021

Menjaga Esensi Program JHT

 












Ketika peserta jaminan sosial ramai-ramai mencairkan jaminan hari tua (JHT), Hadi Mintoro tetap kukuh menyimpan di BPJS Ketenagakerjaan. Pria berusia 62 tahun ini juga tidak buru-buru mengambil, meski regulasi membolehkannya. 

Hadi Mintoro tersenyum saat mengetahui saldo JHT miliknya cukup besar. Simpanan itu dihimpun sejak ia mengawali karir di PT Kayu Tribuana Rama yang berlokasi di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng. Selama bekerja di perusahaan perkayuan tersebut, dia belum pernah sedikitpun mengambil JHT. Bahkan, ketika mengalami kesulitan finansial, Hadi tidak tergoda untuk mencairkannya. 

”Manusia tidak ada yang tidak pernah mengalami kesulitan finansial. Prinsip saya, selama saya masih bisa kerja, JHT akan tetap saya simpan,” kata Hadi di Sampit, Kamis (1/12).

Hadi paham bahwa dana JHT berbeda dengan tabungan di perbankan, yang setiap saat bisa dicairkan ketika membutuhkan. Sebab, JHT berfungsi memberikan kepastian terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak di hari tuanya nanti, bukan di hari mudanya.

”Semua orang ingin pensiun dengan nyaman dari segi keuangan, namun banyak yang lupa untuk menyusun rencana pensiun sejak dini. Alhasil, di umur yang sudah tidak muda lagi, keadaan keuangan seseorang masih jauh dari stabil,” terang Hadi yang juga Kepala Bagian Tata Usaha Kayu dan Urusan Ketenagakerjaan PT Kayu Tribuana Rama.   

Pria kelahiran Blitar 8 Juni 1954 ini bertekad hanya akan memanfaatkan JHT ketika dirinya pensiun. Meski kini usianya sudah 62 tahun, Hadi tetap mengendapkan dananya di lembaga yang dulu bernama PT Jamsostek itu. Padahal bisa saja Hadi mengambil JHT ketika usianya sudah menginjak 56 tahun.

”Karena saya masih dipercaya perusahaan untuk tetap bekerja, biarlah JHT saya tetap di BPJS. Lagipula saya masih perserta aktif BPJS karena setiap bulan perusahaan masih membayar iuran empat program jaminan sosial untuk saya,” kata Hadi.

Hadi Mintoro tidak sendiri. Ada 1.177 pekerja lainnya yang telah memasuki usia pensiun namun tetap menyimpan JHT di BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sampit. Tingginya bunga simpanan di BPJS menjadi salah satu pertimbangan peserta untuk tetap mengendapkan dananya di BPJS.   

Jumlah pekerja usia pensiun yang teguh menyimpan JHT ini bisa dibilang jauh lebih kecil dibanding pekerja yang mencairkan JHT di usia produktif. Sepanjang Januari-November 2016, ada 9.196 pekerja berbondong-bondong mencairkan dana JHT di kantor cabang Sampit, dengan alasan kena PHK. Bahkan, ada peserta yang berusaha mengelabui BPJS dengan cara memalsukan surat pengalaman kerja yang dikeluarkan perusahaan demi mencairkan JHT. Kecurangan ini dapat dicegah pegawai BPJS dengan mengkroscek ke perusahaan yang bersangkutan.

Ada juga pekerja yang berhenti bekerja dari perusahaan namun tetap mengendapkan JHT di BPJS. Yono, salah satunya. Dia berhenti bekerja di sebuah perusahaan percetakan lantaran ingin fokus mengembangkan usaha miliknya sendiri.

”JHT belum saya ambil meski berhenti bekerja. Justru iuran JHT ingin saya lanjutkan dengan mendaftar sebagai peserta kategori bukan penerima upah,” kata Yono.

Yono berpendapat, jika masih memiliki penghasilan yang cukup, maka mencairkan JHT pada usia dini justru merugikan diri sendiri. ”Jika kita berorientasi masa depan, lebih baik biarkan JHT kita berkembang di BPJS demi masa tua nanti. Apalagi hasil pengembangan JHT di atas bunga deposito,” saran Yono.

Sementara itu pengamat ekonomi Herry Hermawan mengatakan, setiap manusia bakal menua dan tingkat produktivitasnya berkurang, bahkan ada yang sama sekali tidak produktif. ”Lebih tragis lagi bila belum sempat tua sudah tidak produktif, misal karena kecelakaan kerja,” kata Herry yang juga seorang akuntan publik.

Oleh karena itu, perlu upaya edukasi kepada pekerja, bahkan kepada pelajar di sekolah, bahwa dana pensiun atau jaminan di hari tua wajib disiapkan sedari dini. Seberapapun penghasilan yang diterima, harus disisihkan untuk persiapan hari tua. Jangan sampai masa muda foya-foya, tua sengsara.

”Lakukan pengeluaran yang tepat, hemat, dan produktif (THP). Hati-hati terhadap tawaran kredit. Silahkan kredit tapi dengan pertimbangan prinsip THP,” ujarnya.

Herry juga berpesan kepada para pekerja untuk hati-hati dalam mempercayakan dana yang dipersiapkan untuk hari tua kepada pihak lain. Tidak sedikit pihak lain tersebut yang jsutru merugikan peserta program hari tua. ”Jangan mudah terpukau hasil pengembangan yang di luar kewajaran,” ujar pendiri Kantor Jasa Akuntasi (KJA) Harmoni Bisnis Asia ini.

Secara terpisah, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sampit Agus Suprihadi mengatakan, esensi program JHT adalah untuk kepentingan hari tua. Program JHT adalah tabungan wajib yang dibebankan negara kepada pemberi kerja dan pekerja, untuk kepentingan hari tua atau masa depan pekerja. Iurannya sebesar 5,7 persen dengan pembagian 2 persen ditanggung pekerja dan 3,7 persen ditanggung perusahaan.

Dana JHT hanya bisa dimanfaatkan ketika pekerja berhenti bekerja dan tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengiur secara permanen, baik karena pensiun, meninggal dunia, maupun karena cacat tetap total. Dalam aturan yang lama, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2015, pencairan JHT hanya dapat dilakukan setelah masa kepersertaan 10 tahun. Jumlah dana yang dapat diklaim juga dibatasi yakni 30 persen dari jumlah JHT untuk kepemilikan rumah atau 10 persen untuk keperluan lain, sisanya dapat diambil setelah peserta berusia 56 tahun.

Namun, sejak adanya PP No 60 Tahun 2015 tentang Perubahan PP No 46 Tahun 2015, pekerja yang kena PHK bisa mencairkan JHT. Aturan ini membuat klaim JHT melonjak, termasuk di kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sampit. Puncaknya terjadi ketika beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kotawaringin Timur merumahkan ribuan karyawan pada medio 2016.

”Kalau ditotal selama 11 bulan terakhir, ada 9.196 pekerja yang mencairkan JHT di Sampit. Nominalnya lebih dari Rp 64,6 miliar. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (Rp 6,5 miliar), Jaminan Kematian (Rp 4,1 miliar), dan Jaminan Pensiun,” ujarnya di sela-sela peringatan HUT ke-39 BPJS Ketenagakerjaan 5 Desember lalu.

Meskipun kena PHK, pekerja tidak harus menarik JHT. Mereka yang berhenti bekerja sebelum usia pensiun akan mendapatkan kompensasi dari perusahaan sesuai Undang-Undang No 13 Tahun 2003 yang mengatur soal pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan penggantian hak. Karena dianggap sudah terproteksi dengan pesangon dan masih berusia produktif, dana JHT menjadi tidak relevan untuk dicairkan saat kena PHK. Dengan usia yang masih produktif, pekerja diharapkan bisa kembali masuk ke dunia kerja dan kembali mengiur JHT.

Wacana untuk mengembalikan aturan pencairan dana JHT ke aturan lama pun sudah mencuat, yakni JHT bisa cair setelah kepesertaan lima tahun satu bulan. Untuk kembali ke aturan lama, pemerintah harus merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60/2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46/015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua. Pemerintah juga harus merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 29/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.

"Kembali ke aturan lama bukan berarti mempersulit pekerja mencairkan JHT, tapi demi melindungi masa tua pekerja agar lebih sejahtera. Inilah esensi dan filosofi program JHT," pungkasnya. (***)

========== ===  

Catatan: Artikel ini pernah terbit di Radar Sampit edisi 10 Desember 2016 dan meraih juara harapan dalam lomba karya jurnalistik BPJS Ketenagakerjaan tahun 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar