Minggu, 16 Mei 2021

Butuh Berjuta Cinta untuk Sehatkan Bangsa

Masih banyak warga yang enggan mendaftar program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) secara mandiri karena merasa sehat. Sementara yang sakit berbondong-bondong mendaftar. Ketika sudah sembuh, peserta ogah membayar premi bulanan. Rendahnya cakupan kepesertaan dan minimnya tingkat kolektabilitas iuran ini masih menjadi persoalan besar yang dihadapi BPJS Kesehatan.     

Data BPJS Kesehatan Cabang Sampit yang mencakup Kabupaten Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Seruyan, Lamandau, dan Kabupaten Sukamara mencatat, ada 965.601 penduduk yang tersebar di lima kabupaten tersebut. Dari jumlah itu, baru 605.988 penduduk yang terdaftar atau 63 persen. Masih ada 359 ribu jiwa atau 37 persen dari total penduduk yang belum masuk program JKN-KIS.

Sementara tingkat kolektabilitas iuran peserta mandiri (pekerja bukan penerima upah) di wilayah kerja BPJS Kesehatan Cabang Sampit hanya 53,67 persen. Padahal premi JKN-KIS jauh lebih murah dibanding asuransi swasta lainnya. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, premi kelas I Rp 80 ribu per orang setiap bulan, kelas II Rp 51 ribu, sedangkan kelas III hanya Rp 30 ribu.  

”Banyaknya tunggakan dari peserta mandiri tidak hanya terjadi di wilayah kerja BPJS Kesehatan Cabang  Sampit, tapi juga di seluruh Indonesia. Kolektabilitas hanya 50 sampai 60 persen,” kata Kepala BPJS Cabang Sampit Atulyadi, Jumat (16/6/2017).  

Jumlah peserta JKN dan kolektabilitas iuran harus digenjot agar berimbang dengan biaya pelayanan kesehatan. Sebab, kata Atulyadi, hampir semua penderita katastropik (penyakit berbiaya tinggi) sudah masuk dalam kepesertaan JKN. Dari hasil screening BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia tahun 2016 saja sudah terjaring 5.531 peserta risiko tinggi (diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dan jantung koroner).  

Jumlah penderita katastropik memang jauh lebih kecil jika dibanding dengan jumlah peserta JKN yang mencapai 177.443.940, namun duit yang dikeluarkan untuk membiayai peserta yang sakit sangat besar. Sebagai ilustrasi, seseorang yang gagal ginjal butuh cuci darah dua kali per pekan atau delapan kali per bulan. Biayanya mencapai Rp 8 juta per bulan dan harus dilakukan seumur hidup.  Artinya, setiap bulan dibutuhkan sokongan dari 166 peserta sehat dengan asumsi iuran Rp 51 ribu (kelas 2). Lebih besar lagi adalah penyakit jantung dengan biaya operasi Rp 150 juta, sehingga dibutuhkan iuran dari 2.941orang yang sehat dengan asumsi peserta membayar iuran sebesar Rp 51 ribu (kelas 2).  Besaran tarif ini tercantum lengkap dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PMK  Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional.

Rendahnya kolektabilitas iuran dari peserta mandiri membuat biaya pelayanan kesehatan masih bergantung pada iuran dari pekerja penerima upah (PPU) yang dibayar perusahaan, penerima bantuan iuran (PBI) yang dibayar oleh pemerintah, serta peserta dari kalangan PNS, TNI, Polri, dan BUMN. 

Situs resmi BPJS Kesehatan menyebut, ada 92.020.408 warga miskin yang masuk kategori peserta penerima bantuan iuran (PBI) APBN. Dengan premi Rp 23 ribu per jiwa, pemerintah menggelontorkan Rp 2,1 trilun per bulan. Sedangkan peserta PBI yang ditanggung pemerintah daerah mencapai 16.871.540 dengan nominal iuran Rp 338 miliar per bulan.  Tak ketinggalan sektor perusahaan swasta juga berkontribusi dalam program JKN-KIS dengan jumlah peserta 24.106.608 jiwa.  

”Perusahaan-perusahaan besar swasta rata-rata sudah mengikutsertakan karyawannya dalam program JKN-KIS,” ujar Atulyadi. 

Kalangan pengusaha pun menyambut baik program JKN. Seperti halnya Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kabupaten Kotawaringin Timur Susilo. Dia memahami pentingnya prinsip gotong royong dalam program JKN-KIS dengan tertib membayar iuran. Iuran bulanan yang tidak bisa diambil kembali seperti halnya asuransi lain pun tak menjadi soal. Baginya, program JKN-KIS sebagai bentuk gotong-royong dalam mewujudkan bangsa yang sehat.   

”Ketika kita sedang sehat, memang tidak merasakan memanfaatkan layanan JKN secara langsung. Tapi ini kewajiban warga negara yang baik. Selain untuk antisipasi kalau-kalau harus berobat dengan biaya yang cukup besar, iuran yang dibayarkan setiap bulannya merupakan bentuk gotong royong kita dalam membantu peserta JKN yang sedang sakit,” kata pengusaha sukses di bidang jasa konstruksi ini, Kamis (29/6/2017).

Selain mendaftarkan dirinya dan keluarga sebagai peserta mandiri, Susilo juga mendaftarkan 800 karyawannya dalam program JKN. Dia berpandangan, mengikutsertakan seluruh karyawan dalam program JKN-KIS bukan hanya untuk menunaikan amanah  Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, tapi juga demi kepentingan perusahaan dan pekerja.  JKN memberikan akses layanan kesehatan kepada pekerja sehingga dapat meningkatkan kesehatan pekerja dan mendukung produktivitas kerja.

”Sebelum ikut program JKN, perusahaan kami harus menanggung biaya pengobatan ketika ada karyawan sakit. Sekarang, karyawan yang sakit ditanggung JKN. Pengeluaran perusahaan untuk kesehatan karyawan menjadi lebih terukur. Ini juga sebagai wujud cinta kami kepada pekerja maupun program JKN,” kata Susilo yang juga Direktur Grahacipta Silo Group ini.  

Sebagai bentuk dukungan terhadap program JKN, Kadin Kabupaten Kotawaringin Timur juga menandatangani nota kesepahaman dengan BPJS Kesehatan untuk sosialisasi program JKN kepada ribuan pelaku usaha.

”Kalangan pengusaha perlu tahu pentingnya program JKN maupun sanksi bagi yang tidak ikut program JKN. Satu contoh sanksinya, tidak mendapat layanan publik berupa perizinan maupun perpanjangan izin,” ujarnya.  

Susilo berharap kesadaran dalam mendukung program JKN tidak hanya dari perusahaan swasta dan pemerintah, tapi juga kalangan pekerja bukan penerima upah (peserta mandiri). ”Namanya gotong royong, semua elemen masyarakat harus terlibat. Butuh jutaan cinta untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang sehat,” cetus Susilo.   

Kepatuhan dalam menjalankan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial juga ditunjukkan oleh Musirawas. Perusahaan perkebunan kelapa sawit ini mendaftarkan 4.673 pekerja dalam program JKN. ”Sebagian karyawan belum ikut karena belum punya e-KTP. Itu saja kendala kami,” kata Senior Manajer Umum dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Musirawas Group Junta Marhaendra, Kamis (29/6/2017).  

Dia juga mengakui anggaran kesehatan yang dikeluarkan perusahaan lebih besar sejak mengikuti program JKN. Sebab, sebelum ikut JKN, Musirawas hanya menanggung biaya pekerja yang sakit di klinik perusahaan. Kini, perusahaan harus  membayar iuran JKN untuk seluruh pekerja.  

”Bagi kami, tidak masalah pengeluaran lebih besar. Inilah gotong royong, yang sehat menolong yang sakit. Apalagi undang-undang mengamanahkan bahwa semua warga harus masuk JKN, tanpa kecuali,” ujarnya.  

Dukungan Musirawas terhadap program JKN-KIS tidak hanya diwujudkan dengan mendaftarkan para pekerja, tapi juga menjadikan dua klinik milik Musirawas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Layananannya berupa rawat jalan dan rawat inap. Klinik perusahaan ini juga melaksanakan pengelolaan penyakit kronis (prolanis) dan berbagai program yang digagas BPJS Kesehatan. Layanan FKTP ini dibiayai dari iuran peserta yang diwujudkan dalam dana kapitasi.    

Dilihat dari realisasi biaya pelayanan kesehatan di wilayah kerja BPJS Kesehatan Cabang Sampit hingga 30 April 2017 telah mencapai Rp 47,6 miliar atau 29,5 persen dari alokasi anggaran selama 2017 sebesar Rp 161,4 miliar. Pelayanan kesehatan ini terdiri dari rawat jalan tingkat pertama, rawat inap tingkat pertama, rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, serta promotif/preventif. Sedangkan secara nasional, alokasi biaya pelayanan kesehatan tahun 2017 diperkirakan mencapai Rp 86 triliun.

Dengan biaya pelayanan kesehatan sebesar itu, dibutuhkan kesadaran dan keikhlasan seluruh masyarakat Indonesia untuk ambil bagian dalam membangun bangsa yang sehat. Kesadaran bergotong royong yang diwujudkan dengan tertib iuran mutlak diperlukan demi menjaga keberlangsungan program JKN-KIS. (***) 

=============== 

Catatan: Artikel ini pernah diterbitkan di Radar Sampit edisi 30 Juni 2017 dan meraih juara harapan dalam Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan 2017.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar