Masih banyak warga yang enggan mendaftar program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) secara mandiri karena merasa sehat. Sementara yang sakit berbondong-bondong mendaftar. Ketika sudah sembuh, peserta ogah membayar premi bulanan. Rendahnya cakupan kepesertaan dan minimnya tingkat kolektabilitas iuran ini masih menjadi persoalan besar yang dihadapi BPJS Kesehatan.
Data
BPJS Kesehatan Cabang Sampit yang mencakup Kabupaten Kotawaringin Timur,
Kotawaringin Barat, Seruyan, Lamandau, dan Kabupaten Sukamara mencatat, ada
965.601 penduduk yang tersebar di lima kabupaten tersebut. Dari jumlah itu,
baru 605.988 penduduk yang terdaftar atau 63 persen. Masih ada 359 ribu jiwa
atau 37 persen dari total penduduk yang belum masuk program JKN-KIS.
Sementara
tingkat kolektabilitas iuran peserta mandiri (pekerja bukan penerima upah) di
wilayah kerja BPJS Kesehatan Cabang Sampit hanya 53,67 persen. Padahal premi
JKN-KIS jauh lebih murah dibanding asuransi swasta lainnya. Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, premi kelas I Rp 80 ribu per orang
setiap bulan, kelas II Rp 51 ribu, sedangkan kelas III hanya Rp 30 ribu.
”Banyaknya
tunggakan dari peserta mandiri tidak hanya terjadi di wilayah kerja BPJS
Kesehatan Cabang Sampit, tapi juga di
seluruh Indonesia. Kolektabilitas hanya 50 sampai 60 persen,” kata Kepala BPJS
Cabang Sampit Atulyadi, Jumat (16/6/2017).
Jumlah
peserta JKN dan kolektabilitas iuran harus digenjot agar berimbang dengan biaya
pelayanan kesehatan. Sebab, kata Atulyadi, hampir semua penderita katastropik (penyakit
berbiaya tinggi) sudah masuk dalam kepesertaan JKN. Dari hasil screening BPJS
Kesehatan di seluruh Indonesia tahun 2016 saja sudah terjaring 5.531 peserta
risiko tinggi (diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dan jantung koroner).
Jumlah
penderita katastropik memang jauh lebih kecil jika dibanding dengan jumlah
peserta JKN yang mencapai 177.443.940, namun duit yang dikeluarkan untuk
membiayai peserta yang sakit sangat besar. Sebagai ilustrasi, seseorang yang
gagal ginjal butuh cuci darah dua kali per pekan atau delapan kali per bulan.
Biayanya mencapai Rp 8 juta per bulan dan harus dilakukan seumur hidup. Artinya, setiap bulan dibutuhkan sokongan dari
166 peserta sehat dengan asumsi iuran Rp 51 ribu (kelas 2). Lebih besar lagi
adalah penyakit jantung dengan biaya operasi Rp 150 juta, sehingga dibutuhkan
iuran dari 2.941orang yang sehat dengan asumsi peserta membayar iuran sebesar
Rp 51 ribu (kelas 2). Besaran tarif ini
tercantum lengkap dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 64 Tahun 2016
tentang Perubahan atas PMK Nomor 52
Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan dalam Penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan Nasional.
Rendahnya
kolektabilitas iuran dari peserta mandiri membuat biaya pelayanan kesehatan masih
bergantung pada iuran dari pekerja penerima upah (PPU) yang dibayar perusahaan,
penerima bantuan iuran (PBI) yang dibayar oleh pemerintah, serta peserta dari
kalangan PNS, TNI, Polri, dan BUMN.
Situs
resmi BPJS Kesehatan menyebut, ada 92.020.408 warga miskin yang masuk kategori
peserta penerima bantuan iuran (PBI) APBN. Dengan premi Rp 23 ribu per jiwa,
pemerintah menggelontorkan Rp 2,1 trilun per bulan. Sedangkan peserta PBI yang
ditanggung pemerintah daerah mencapai 16.871.540 dengan nominal iuran Rp 338
miliar per bulan. Tak ketinggalan sektor
perusahaan swasta juga berkontribusi dalam program JKN-KIS dengan jumlah
peserta 24.106.608 jiwa.
”Perusahaan-perusahaan
besar swasta rata-rata sudah mengikutsertakan karyawannya dalam program
JKN-KIS,” ujar Atulyadi.
Kalangan
pengusaha pun menyambut baik program JKN. Seperti halnya Ketua Kamar Dagang
Indonesia (Kadin) Kabupaten Kotawaringin Timur Susilo. Dia memahami pentingnya
prinsip gotong royong dalam program JKN-KIS dengan tertib membayar iuran. Iuran
bulanan yang tidak bisa diambil kembali seperti halnya asuransi lain pun tak
menjadi soal. Baginya, program JKN-KIS sebagai bentuk gotong-royong dalam
mewujudkan bangsa yang sehat.
”Ketika
kita sedang sehat, memang tidak merasakan memanfaatkan layanan JKN secara
langsung. Tapi ini kewajiban warga negara yang baik. Selain untuk antisipasi
kalau-kalau harus berobat dengan biaya yang cukup besar, iuran yang dibayarkan
setiap bulannya merupakan bentuk gotong royong kita dalam membantu peserta JKN
yang sedang sakit,” kata pengusaha sukses di bidang jasa konstruksi ini, Kamis
(29/6/2017).
Selain
mendaftarkan dirinya dan keluarga sebagai peserta mandiri, Susilo juga
mendaftarkan 800 karyawannya dalam program JKN. Dia berpandangan,
mengikutsertakan seluruh karyawan dalam program JKN-KIS bukan hanya untuk
menunaikan amanah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial, tapi juga demi kepentingan perusahaan dan pekerja. JKN memberikan akses layanan kesehatan kepada
pekerja sehingga dapat meningkatkan kesehatan pekerja dan mendukung
produktivitas kerja.
”Sebelum
ikut program JKN, perusahaan kami harus menanggung biaya pengobatan ketika ada
karyawan sakit. Sekarang, karyawan yang sakit ditanggung JKN. Pengeluaran
perusahaan untuk kesehatan karyawan menjadi lebih terukur. Ini juga sebagai
wujud cinta kami kepada pekerja maupun program JKN,” kata Susilo yang juga
Direktur Grahacipta Silo Group ini.
Sebagai
bentuk dukungan terhadap program JKN, Kadin Kabupaten Kotawaringin Timur juga
menandatangani nota kesepahaman dengan BPJS Kesehatan untuk sosialisasi program
JKN kepada ribuan pelaku usaha.
”Kalangan
pengusaha perlu tahu pentingnya program JKN maupun sanksi bagi yang tidak ikut program
JKN. Satu contoh sanksinya, tidak mendapat layanan publik berupa perizinan
maupun perpanjangan izin,” ujarnya.
Susilo
berharap kesadaran dalam mendukung program JKN tidak hanya dari perusahaan
swasta dan pemerintah, tapi juga kalangan pekerja bukan penerima upah (peserta
mandiri). ”Namanya gotong royong, semua elemen masyarakat harus terlibat. Butuh
jutaan cinta untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang sehat,” cetus Susilo.
Kepatuhan
dalam menjalankan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial juga ditunjukkan oleh Musirawas. Perusahaan perkebunan kelapa sawit ini
mendaftarkan 4.673 pekerja dalam program JKN. ”Sebagian karyawan belum ikut
karena belum punya e-KTP. Itu saja kendala kami,” kata Senior Manajer Umum dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Musirawas Group Junta Marhaendra, Kamis (29/6/2017).
Dia
juga mengakui anggaran kesehatan yang dikeluarkan perusahaan lebih besar sejak
mengikuti program JKN. Sebab, sebelum ikut JKN, Musirawas hanya menanggung biaya
pekerja yang sakit di klinik perusahaan. Kini, perusahaan harus membayar iuran JKN untuk seluruh pekerja.
”Bagi
kami, tidak masalah pengeluaran lebih besar. Inilah gotong royong, yang sehat
menolong yang sakit. Apalagi undang-undang mengamanahkan bahwa semua warga
harus masuk JKN, tanpa kecuali,” ujarnya.
Dukungan
Musirawas terhadap program JKN-KIS tidak hanya diwujudkan dengan mendaftarkan
para pekerja, tapi juga menjadikan dua klinik milik Musirawas sebagai fasilitas
kesehatan tingkat pertama (FKTP). Layananannya berupa rawat jalan dan rawat
inap. Klinik perusahaan ini juga melaksanakan pengelolaan penyakit kronis
(prolanis) dan berbagai program yang digagas BPJS Kesehatan. Layanan FKTP ini
dibiayai dari iuran peserta yang diwujudkan dalam dana kapitasi.
Dilihat
dari realisasi biaya pelayanan kesehatan di wilayah kerja BPJS Kesehatan Cabang
Sampit hingga 30 April 2017 telah mencapai Rp 47,6 miliar atau 29,5 persen dari
alokasi anggaran selama 2017 sebesar Rp 161,4 miliar. Pelayanan kesehatan ini
terdiri dari rawat jalan tingkat pertama, rawat inap tingkat pertama, rawat
jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, serta promotif/preventif. Sedangkan
secara nasional, alokasi biaya pelayanan kesehatan tahun 2017 diperkirakan mencapai
Rp 86 triliun.
Dengan
biaya pelayanan kesehatan sebesar itu, dibutuhkan kesadaran dan keikhlasan seluruh
masyarakat Indonesia untuk ambil bagian dalam membangun bangsa yang sehat.
Kesadaran bergotong royong yang diwujudkan dengan tertib iuran mutlak
diperlukan demi menjaga keberlangsungan program JKN-KIS. (***)
===============
Tidak ada komentar:
Posting Komentar