Pattaya, Kota Pesta dengan Seabrek Waria
Ingar bingar hiburan dari pagi hingga pagi lagi ada di Kota Pattaya. Urusan maksiat pun nggak ada yang ngelarang. Bahkan, eksistensi waria menjadi komoditas pariwisata bertaraf internasional. Berikut catatan perjalanan saya di Thailand pada 16-19 Februari 2011.
SETELAH berkunjung ke sejumlah obyek wisata budaya di Kota Bangkok, kami melanjutkan perjalanan ke Pattaya, sebuah kota yang terletak di pesisir Teluk Thailand, tenggara Bangkok di Provinsi Chonburi. Kota ini merupakan pusat pariwisata terbesar di Thailand. Karakter Bangkok dan Pattaya sangat beda. Di Bangkok kental dengan wisata budaya, sedangkan Pattaya dikenal karena pantai dan hiburan malamnya.
Dari Bangkok ke Pattaya memakan waktu hampir dua jam tanpa macet. Jalan menuju ke pusat wisata di negeri gajah putih ini hampir sama dengan jalan tol Jakarta-Cikampek. Luas dan mulusnya jalan mirip. Bedanya, jika tol Jakarta–Cikampek terkadang macet, di jalan Bangkok–Pattaya lancar banget. Saya berpikir, rem blong pun kayaknya aman-aman saja di jalan ini. Tidak berkelok, tidak naik turun, dan lancar. Andai saja jalan Sampit-Samuda seperti ini, pasti TOP banget, tidak ada lagi truk terbalik gara-gara kubangan lumpur di tengah jalan.
Suasana sore di Pattaya cukup ramai. Pertokoan juga buka lebih larut malam. Jika pertokoan di Bangkok buka sampai pukul 22.00 WIB (waktu di Bangkok dan Waktu Indonesia Barat sama), pertokoan di Pattaya banyak yang buka hingga pukul 00.00 WIB. Sedangkan tempat hiburan malam buka sampai pagi.
Kata Pak Imron selaku pemandu wisata rombongan Jurnalis Kalimantan dan Indosat selama di Thailand, Pattaya awalnya hanya desa nelayan kecil. Pada tahun 1960-an, pasukan Amerika dari markas AU di Provinsi Rayong, istirahat di daerah ini sekaligus refresing. Kota ini pun tumbuh pesat, sebagian besar karena kehidupan malam.
Apa yang dikatakan Imron bukan omong kosong. Saat hari mulai gelap, kami menyusuri pantai menuju hotel, luar biasa ramainya. Sebelah kanan ada pantai, sebelah kiri ada kafe, bar, diskotek, hotel berbintang, dan berbagai hiburan malam lainnya. Semua khusus orang dewasa. Antara pantai dan lokasi hiburan malam hanya dibatasi jalan beraspal sepanjang Pantai Pantaya.
Bisa dikatakan, Pattaya adalah kota pesta. Ingar bingar hiburan dari pagi hingga pagi lagi ada di kota ini. Ya, sepertinya kota ini memang aman untuk urusan maksiat, nggak ada yang ngelarang. Kafe-kafe di sepanjang Pantai Pattaya penuh. Kebanyakan turis dari eropa dengan ditemani perempuan malam, jika dilihat dari wajahnya sih, perempuan lokal.
Perempuan malam di sana macam-macam, ada yang cantik ada yang pas-pasan, juga ada yang wanita jadi-jadian alias bencong. Bukannya saya pakar bencong yang bisa mendeteksi mana yang waria mana yang bukan, tapi jika diperhatikan betul-betul memang ada bedaknya kok. Anehnya, bule-bule itu kok mau ya ditemani bencong, sambil peluk-pelukan lagi. Seremnya. Kalau saya jadi germo di diskotek, bukan bencong yang saya sediakan, tapi cewek betulan.
Sekarang giliran menyusuri sisi bibir pantai yang agak remang-remang. Di pantai ini, bencongnya sangar-sangar bin nekat-nekat. Dua kawan saya, Erwin dan Dragon (Samarinda Pos), yang jalan tepat di depan saya, dirayu puluhan ladyboy yang levelnya tak jauh dengan waria di Taman Kota Sampit. Merayunya ada yang pakai bahasa Inggris ada juga yang menggunakan bahasa Thai. Bahkan ada waria yang langsung memeluk dua kawan saya itu. Erwin dan Dragon sempat panik. Saya yang jalan bareng Nina Soraya (Tribun Pontianak) hanya tertawa melihat reaksi teman-teman yang digoda waria di pinggir pantai. Ternyata, waria di sana suka menggoda para lelaki yang jalan tanpa pasangan. Untunglah di samping saya ada teman perempuan dari Pontianak, jadi tidak begitu direcoki waria-waria genit itu.
Suasananya benar-benar mirip di Kuta, Bali. Obyek wisata yang tak pernah tidur. Siang bergelut degang deburan ombak, saat malam giliran dugem. Bagi penghobi belanja, deretan penjaja souvenir sudah membuka lapak di pinggir jalan hingga mall juga ada di pinggir pantai. Wisatawan tinggal jalan kaki.
Namun, pertunjukan andalan di Pattaya yang tidak ada di Kuta, Bali, adalah kabaret. Sungguh sulit dipercaya bahwa sosok cantik di atas panggung itu sebenarnya adalah pria. Pagelaran tersebut menggambarkan berbagai budaya dan cerita. Selain Thailand, mereka juga menampilkan tari dan lagu dari Vietnam, Jepang, Melayu (lengkap dengan lagu Cindai milik Siti Nurhalizah), Korea, dan Timur Tengah. Ada juga penari bertelanjang dada yang dilapis warna perak dan emas dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ada yang menampilkan gaya Hudsen di IMB dengan dua karakter, hingga pertunjukan ala Lady Gaga. Kompak dan apik banget.
Tata panggung yang cantik, kostum pemain yang elegan, akting para waria yang menghayati peran, semuanya membuat penonton betah duduk selama satu jam. Yang paling bikin saya berdecak kagum adalah tata panggung di Gedung Alcazar Show. Dalam satu jam, desain panggung berubah lebih dari lima kali. Tata panggung bukan background lukisan, tapi betul-betul bentuk tiga dimensi. Pemainnya muncul tidak hanya dari samping kanan kiri, tapi juga dari atas dan bawah.
Saat ingin menyaksikan pertunjukan ini, kami harus booking tiket lebih dahulu. Kalau tidak, sudah pasti kehabisan tiket yang harganya 400 bath itu. Pertunjukan ladyboy ini adalah pertunjukan favorit yang digemari oleh wisatawan sehingga tiket selalu terjual habis. Lebih dari 1.000 kursi di dalam gedung juga terisi penuh. Setiap hari, sejak sore, mereka menggelar tiga kali pertunjukan. Mulai jam 6.30, dan 8.00 serta 9.30 malam.
Setelah pertunjukan selesai, para waria akan keluar dan menjumpai penonton dan mengajak mereka berfoto bersama. Mereka meminta 40 bath sebagai imbalan. Ya, begitulah cara mereka untuk menambah penghasilan. Jika penonton ingin berfoto dengan didampingi dua bencong cantik atau dua penonton foto dengan satu bencong, maka harus bayar 80 bath.
Waria di Thailand memang mendapat perlakuan khusus. Berbeda dengan di negara kita, yang seringkali dicaci atau diintimidasi. Mereka kerap dianggap penyakit sosial. Namun itu nasib mereka di Indonesia. Di Thailand, banci justru menjadi primadona industri hiburan.
Waria Thailand tak hanya tampil cantik, tapi juga kreatif dalam unjuk kebolehan. Pemerintah pun memberikan dukungan atas kreativitas waria tersebut dengan dijadikan salah satu komoditas wisata di Pattaya. Tak heran jika Pattaya sering kali menjadi tempat kontes waria sedunia. Itulah sebabnya, Pattaya sangat identik dengan para waria. Kriterianya beauty, smart, creative, dan energetic. Bahkan beberapa kali kontes waria sedunia dimenangi oleh waria dari Pattaya yang memang terkenal cantik dan molek. “Karena itulah banyak orang asing suka operasi kulit di Thailand,” kata Imron, pemandu wisata kami.
Berkat kecanggihan operasi transeksual, para banci itu bisa memiliki kulit mulus, jari lentik dan wajah ayu. Bahkan mereka punya payudara montok, meskipun hanya dari silikon.
Cukup rasanya ngomongin waria. Secantik apapun, tetap bencong. Kini giliran ngomongin hiburan di Pattaya saat pagi dan siang hari. Pagi hari, dengan menggunakan pakaian santai atau apa saja yang bikin santai, kami menikmati pantai. Celana pendek, T-shirt, sandal cepit, atau telanjang kaki saja juga boleh. Bagi perempuan yang mau berbikini juga boleh. Tetapi, teman-teman jurnalis dari Kalimantan tidak ada yang menggunakan bikini. Mereka masih ada ewuh pekewuh khas orang timur.
Di bibir pantai terdapat ribuan payung dan tempat untuk rebahan para turis yang biayanya 60 bath. Lokasi berenang pun tidak bisa sembarangan. Pengelola pantai memberi batas-batas lokasi berenang sehingga tidak mengganggu aktivitas speedboat atau pun jetski.
Berbagai pilihan mainan air ada di pantai ini, mulai banana boat atau perahu pisang, paraseling, hingga menyelam. Bagi mereka yang ingin memompa adrenalin, paraseling jadi pilihan yang tepat. Bisa dibayangkan bagaimana di tengah hempasa angin laut yang kuat, kita tergantung tinggi di udara dengan menggunakan parasit. Ada banyak lokasi wisata di Pattaya, namun karena keterbatasan waktu kami tidak bisa mengunjungi sampai habis.
Sebelum pulang, tentu pelancong tak lupa dengan oleh-oleh. Uniknya, Thailand mampu mengemas sebuah pusat perbelanjaan secara terpadu, mulai dari pencarian bahan, pengolahan, hingga penjualan. Catatan selengkapnya akan saya sampaikan pada hari berikutnya. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar