Catatan Perjalanan ke Thailand (1)
Meski Macet, Tak Ada Suara Bising Klakson
Istana Raja Rava V di Grand Palace, Bangkok, Thailand. Arsitektur bangunan sudah bercampur dengan gaya eropa, namun atapnya tetap menggunakan gaya Thailand kuno. (foto: erwin/dewi wisata makasar) |
Wisata budaya dan alam di Thailand tak jauh berbeda dengan Indonesia. Namun, negara gajah putih itu jauh lebih unggul dalam mengelola obyek wisata yang biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Berikut catatan saya selama di Thailand pada 16-19 Februari 2011
Berkat karya jurnalistik, saya bisa jalan-jalan gratis ke Thailand plus uang saku. Itulah yang saya alami setelah menyabet Juara III KRO Journalis Writing Competition yang digelar Indosat Regional Kalimantan. Kawan-kawan wartawan lainnya yang berhak menikmati liburan ini adalah Rita (Tribun Kaltim), Nina Soraya (Tribun Pontianak), Sigit Rahmawan Abadi (Banjarmasin Post), Dragono Halim (Samarinda Post) dan Chandra Dollores (Balikpapan Post). Namun sayang, Rita sedang menikah dan Sigit ada kepentingan lain sehingga tidak bisa ikut ke negeri yang belum pernah dijajah itu. Kami juga didampingi tour leader dari Dewi Wisata Erwin Baharudin dan Divisi Marketing & Sales Support Indosat Umi Farida.
Saya mulai perjalanan dari Palangka Raya karena Sampit dikira tidak ada penerbangan ke Jakarta. Setelah saya konfirmasi ke tour leader Erwin Baharudin, dia mengatakan bahwa di Sampit cuma ada satu penerbangan ke Jakarta. “Terlalu berisiko, kalau pesawatnya delay, anda bisa batal ke Thailand,” kata Erwin.
Saat di Palangka Raya pun saya harus senam jantung. Batavia Air yang dijadwalkan pukul 10.00 WIB, ternyata baru boarding pukul 13.15 WIB. “Waduh, delay tiga jam, nggak jadi plesiran ke Thailand nih,” ucapku dalam hati. Ya sudah lah, pasrah. Andai ketinggalan Air Asia tujuan Bangkok, saya akan berhenti di Jakarta saja, paling tidak, bisa ketemu saudara-saudara saya di Jakarta.
Akhirnya pukul 13.30 WIB Batavia Air take off dari Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya dan tiba di Bandara Soekarno Hatta (Soetta) hampir pukul 15.00 WIB. Padahal rombongan sudah harus kumpul pukul 14.00 WIB. Untungnya Air Asia mau menunggu hingga saya tiba di bandara. Baik banget ya pilot Air Asia. Dia mungkin tahu kalau saya baru pertama kali mau ke Thailand, jadi ditungguin. Hehe… cuma guyon. Pesawat bukannya nungguin saya, tapi memang berangkatnya pukul 16.20 WIB.
Akhirnya rombongan sebanyak tujuh orang tiba di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, pukul 20.00 WIB. Yang cukup lama di bandara Bangkok adalah proses imigrasi. Kira kira butuh waktu 30 menit karena antreannya cukup panjang. Meski sudah malam tapi bandara tetap ramai. Beda dengan suasana Bandara H Asan Sampit, sunyi mulai pukul 17.00 WIB.
Waktu menyusuri Bandara Suvarnabhumi, saya jadi malu dengan kondisi Bandara Soetta. Ketinggalan jauh. Lorong-lorong Bandara Suvarnabhumi dihiasi tanaman dan dindingnya penuh lukisan khas budaya Thailand. Sambil jalan di eskalator menuju lokasi pengambilan bagasi, kami bisa menikmati lukisan yang indah. Bahkan ada mallnya juga.
Kawan-kawan jurnalis kalimantan, kecuali yang paling depan, mbak umi, dari Indosat. |
Sebelum keluar bandara, tak lupa saya mengambil buku dan pamflet panduan wisata di bandara. Ada bermacam-macam dan gratis. Namun saya salah mengambil. Panduan yang saya ambil ternyata berbahasa Thai. Di dalamnya ada peta kota, foto-foto lokasi hiburan malam, hingga wisata alam, namun saya tidak paham tulisannya.
Setelah mengambil bagasi kami langsung diajak naik minibus warna putih merek Toyota. Meski ada delapan orang plus sopir, namun tempat duduk masih longgar. Bahkan saya kursi di samping saya masih kosong. Kendaraan yang cukup nyaman untuk keliling.
”Kalau anda jalan-jalan dari Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, lalu pulang lagi ke Jakarta, pasti iri lihat bandara di negeri tetangga. Bandara di Jakarta agak ketinggalan ,” ucap Imran, local guide yang mahir berbahasa Indonesia. Imran adalah warga asli Bangkok yang menemani kami selama tour di Bangkok dan Pattaya. Dia ternyata memiliki istri dari Jakarta, sehingga fasih bahasa Indonesia dan guyon-guyon orang melayu.
Kami meluncur ke Hotel Baiyoke di pusat Kota Bangkok. Sebelum sampai di hotel, kami makan dulu di sebuah restoran muslim. Menu telur dadar dan ikan bumbu asam manis sudah cukup akrab dengan lidah saya, sedangkan sayur berkuahnya agak aneh rasanya. Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke hotel. Kata orang sih Bangkok macet, tapi malam itu kami belum menemui kemacetan. Entah hari berikutnya.
Pada malam pertama, kami hanya jalan jalan di sekitar hotel. Di lokasi ini banyak pedagang makanan dan pakaian yang suasananya mirip Pasar Blauran Sampit. Harganya pun tak jauh beda dengan Indonesia.
Kemacetan di Kota Bangkok. (foto: heru prayitno) |
Pada hari kedua, baru lah kami keliling ke tempat-tempat wisata di Bangkok. Tujuan pertama adalah Grand Palace. Butuh waktu 50 menit untuk sampai di keratonnya Thailand itu. Selama perjalanan, kami sempat menemui kemacetan, tapi tidak separah macet di Jakarta. Hanya di beberapa titik persimpangan karena menanti perubahan lampu merah, bukan lantaran berebut duluan seperti di Jakarta.
Budaya antre dan sabar menanti sangat terasa dari perilaku warga, baik yang mengendarai kendaraan pribadi maupun supir supir angkutan umum seperti bis kota tua sekalipun. Uniknya lagi, kami tidak mendengar ada suara klakson di sepanjang jalan. Mobil yang di belakang sabar menunggu antrean. Orang melintas diberi kesempatan menyeberang duluan.
”Di sini, kalau pengendara bunyikan klakson di jalan, dianggap orang baru turun dari hutan. Bunyikan klakson itu tidak sopan,” ucap Imran, local guide yang mendampingi rombongan kami.
Selain itu, di persimpangan-persimpangan sangat jarang terlihat polisi lalu lintas. Bandingkan dengan Jakarta, hampir setiap persimpangan di jalan-jalan utama ramai oleh Polantas. Tanpa polantas, lampu merah pun dicuekin.
Di Bangkok, masih ada angkutan kota berupa bus-bus tua yang tidak ber-AC. Jendela-jendelanya bahkan sudah terbuka lebar. Namun, biar tua, tetap santun di jalan, tidak ugal-ugalan ala metro mini. Selain bus, ada juga skytrain BTS (Bangkok Mass Transit System) dan kereta api bawah tanah MRT.
Bangkok juga memiliki armada taksi. Di kap atas tertera tulisan Taxi Meter. Ada juga tuk tuk, bentuknya seperti bajai tapi lebih terbuka. Angkutan khas Thailand ini bisa dicarter untuk keliling Kota Bangkok sesuai keinginan penumpang. “Naik tuk tuk harus tawar menawar. Tapi hati-hati kalau diajak ke tempat bukan tujuan kita, misalnya ke rumah makan. Naik tuk tuk murah, tapi kita bisa jebol di rumah makan,” tutur Imron.
Grand Palace, Bangkok, Thailand. (foto: imron/local guide) |
Tak terasa hampir satu jam kami menyusuri jalanan di Kota Bangkok. Kami pun tiba di Grand Palace. Ini merupakan istana raja Thailand dengan arsitektur khas Thailand kuno yang dihiasi oleh lapisan kuning emas sehingga memberikan kesan yang mewah dan berwibawa. Istana ini bertepian dengan Chaou Praya River atau The King of River, sebuah sungai yang membelah Kota Bangkok.
Grand Palace juga merupakan simbol negara Thailand dan salah satu museum terlengkap. Arsitekturnya juga terjadi alkulturasinya dengan barat dan negara asia lainnya. Bangunan yang didirikan tahun 1782 ini dikelilingi tembok putih sepanjang 1900 meter, mengingatkan kembali pada Kraton Yogyakarta maupun Surakarta yang juga memusatkan aktivitasnya di area dalam tembok benteng (njeron beteng).
Pemandu wisata Imron mengatakan, Grand Palace minimal dikunjungi 7.000 wisatawan per hari dengan tarif tiket masuk 350 bath per orang (kurs 1 bath = Rp 320). Jadi pada saat sepi saja, pemasukan Grand Palace mencapai Rp 784 juta. Sedangkan saat ramai lebih dari Rp 1 miliar per hari. Itu baru satu lokasi wisata, belum termasuk puluhan wisata lainnya.
Ya, Thailand memang mengandalkan industri pariwisata sebagai pemasukan devisa utama untuk modal pembangunan. Fakta ini terbukti nyata, Thailand fokus pada sektor wisata untuk mendatangkan devisa dalam negerinya.
Setiap tahun di negeri Siam ini tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan asing. Bagi warga Indonesia, sebelum ke Tailand sebaiknya menukarkan uang bath di negeri sendiri atau bawa dolar. Sebab, jika kita menukar bath di Thailand, 1 bath dihargai Rp 320, sedangkan berdasarkan kurs yang dikeluarkan Bank Indonesia adalah 1 bath seharga Rp 291.
Saya sedikit mencatat tentang kisah Raja Thailand saat ini, yakni Raja Bhumibol atau Raja Rama IX. Dia sering digambarkan sebagai penentu pada saat krisis politik mendera Thailand. Tatkala dua kubu, yakni massa pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra (Kaus Merah) berhadapan dengan pemerintah yang diwakili militer, rakyat berkeinginan raja turut campur tangan menengahi konflik ini.
Raja yang lahir di Cambridge, Massachusetts, AS, pada 5 Desember 1927 ini menjadi raja sejak usia 19 tahun. Ia merupakan anggota Dinasti Chakri. Penobatan Bhumibol sebagai raja baru dilangsungkan pada 5 Mei 1950. Kepemimpinannya selama 61 tahun di Thailand menjadikannya sebagai kepala negara terlama di dunia, sekaligus raja terlama yang bertakhta di dunia.
Namun saat ini, kondisi fisiknya semakin menurun.Raja Bhumibol atau Raja Rama IX dimasukkan ke Rumah Sakit Siriraj sejak 19 September 2009 karena sakit. Akibatnya, figur yang sangat dihormati rakyat Thailand ini hanya sesekali muncul di depan publik. Dengan kondisi kesehatan seperti demikian, Thailand seperti berada di jalan tak berujung. Pasalnya, berbagai kalangan di negeri Gajah Putih itu menilai belum ada calon pengganti yang sekarismatik Bhumibol.
”Rakyat Thailand takut, jika Raja Rama IX meninggal akan ada perpecahan. Bahkan ada ramalan bahwa kerajaan Thailand akan berakhir setelah Raja Rama IX ini wafat. Ada putra mahkota, tapi rakyat tidak suka karena istrinya banyak,” ucap Imran.
Selain Raja Rama IX, raja yang cukup tersohor adalah Raja Chulalongkorn atau Raja Rama V. Dia dinobatkan sebagai raja pada usia 15 tahun. Hal yang masih menjadi perdebatan adalah jumlah istri Raja Chulalongkorn. “Ada yang mengatakan istrinya 66, ada juga yang menyebut 88,” ungkap Imran.
Rasanya terlalu panjang menulis tentang sejarah Kerajaan Thailand. Jadi, catatan berikutnya akan menampilkan para pedagang di Wat Arun Temple yang sebagian besar bisa berbahasa Indonesia. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar