Kamis, 24 Februari 2011

Catatan Perjalanan ke Thailand (2)


Chao Phraya, Seperti Mentaya Tapi Tak Ada WC Terapung

Wat Arun atau Temple of Dawn di Bangkok.

Banyak rumah di bantaran Sungai Chao Phraya, tapi tidak ada sampah dan WC yang nangkring di atas sungai. Di tepi sungai ini terdapat Pasar Wat Arun yang para pedagangnya bisa berbahasa Indonesia dan rupiah pun diterima. Berikut catatan perjalanan saya di Thailand pada 16–19 Februari 2011.


SELAIN Grand Palace yang menjadi keratonnya Thailand, ada beberapa tempat suci lainnya di Bangkok. Lokasinya ada di tepi Sungai Chao Phraya atau Kings of River. Lokasi yang menarik minat turis mengunjungi Sungai Chao Phraya adalah di depan Vihara Wat Srisudaram. Di sana terdapat ribuan ikan patin berukuran besar yang jinak.
Selain mengantar pengunjung, sopir kelotok wisata juga menyediakan roti tawar agar turis dapat memberi makanan kepada ribuan ikan patin yang mengelilingi kapal wisata. Begitu potongan roti dihamburkan, ribuan ikan patin bermunculan dari dalam sungai.
Pemandu wisata, Imron, menjelaskan bahwa ribuan ikan patin itu tidak boleh dipancing atau digoreng oleh penduduk setempat. Jika ada orang yang menangkapnya maka orang tersebut akan mengalami hal yang buruk. Orang-orang sangat dianjurkan untuk memberikan makanan kepada ikan-ikan patin tersebut karena bisa mendatangkan keberuntungan.
Ikan Patin di Sungai Chao Phraya.
“Ikan ini hanya berkumpul di depan kuil dan dianggap keramat. Kalau keluar dari wilayah ini, sudah pasti jadi asam manis (menu ikan asam manis),” ucap Imron lantas tertawa.
Saat menyusuri Sungai Chao Phraya, saya jadi teringat Sungai Mentaya  di Kotawaringin Timur. Di pinggir sungai berderet rumah yang disangga dengan kayu. Warga juga mempergunakan sungai untuk mencuci pakaian. Bedanya, Sungai Chao Phraya ini tak ada sampahnya.
Di Sungai terbesar di Bangkok ini, kami juga melihat berbagai pemandangan menarik, antara lain Grand Palace (Istana Raja Thailand), kuil-kuil Budha (Wat), hotel berbintang, pasar tradisional, dan beberapa jembatan yang cantik. Air Sungai Chao Phraya memang berwarna coklat, karena sungai ini membawa endapan lumpur. Namun, sungai ini sangat bersih. Tak terlihat satupun sampah di permukaan sungai. Pada siang hari, sungai diramaikan penduduk yang berdagang. Sejumlah perahu pedagang berseliweran.
Bila ingin cendera mata, kapal kecil di pinggir sungai juga siap melayani. Tentu saja bukan cendera mata murah namun rendah kualitasnya. Mereka akan mendekat dan menawari kami berbagai jenis cendera mata, mulai dari kapal, bunga, kipas, gantungan kunci, dan lain-lain. Yang pasti, cendera mata yang dijual benar-benar khas budaya lokal.
Kapal yang disediakan bagi wisatawan mulai dari kapal kecil hingga kapal besar yang bisa ditumpangi puluhan orang. Kapal-kapal yang berdesain tradisional mendominasi angkutan wisata di tempat itu. Dengan kapal mesin bermotor, wisatawan diajak untuk menyusuri Sungai Chao Phraya yang sangat lebar dan luas.
Sungai Chao Phraya merupakan pertemuan dari empat sungai kecil Ping, Wang, Yom, dan Nan di daerah Nakhon Sawan yang berada di wilayah utara Thailand. Panjang Sungai Chao Phraya diperkirakan mencapai 300 kilometer hingga bermuara di Teluk Thailand.
Sungai Chao Phraya berfungsi mulai dari untuk irigasi, pasar terapung, dan menjadi tulang punggung transportasi penduduk sekitar melalui kanal-kanal yang ada. Sungai ini menjadi sarana transportasi yang sangat vital sejak Kota Bangkok didirikan tahun 1782. Denyut nadi kehidupan Bangkok ada di sungai itu. Ya, karakternya seperti di Kalimantan, kota tumbuh di pinggir sungai.
Sepuluh tahun yang lalu, kata pemandu wisata kami, Sungai Chao Phraya sering menyebabkan banjir. Akan tetapi, setelah dibangun pintu-pintu air di ujung kanal, kini Sungai Chao Phraya tak lagi menyebabkan banjir. Di pinggir sungai juga dibangun siring pembatas agar air tidak tumpah ke daratan. “Bangkok berada hanya 75 centimeter di atas permukaan laut. Jadi rawan banjir,” tutur Imron.
Di Chao Phraya, meski banyak rumah yang berdiri di pinggir sungai, tidak ada kotoran maupun sampah yang mengapung. Semua bersih, tak ada pula WC umum yang nangkring di pinggir sungai. Beda banget ya sama sungai di Kalimantan.
Saya benar-benar salut dan iri pada pemerintah Thailand yang bisa menjaga sungainya tetap bersih sehingga bisa menjadi tujuan wisata. Kapan ya, sungai-sungai di Kalimantan bisa bersih seperti Sungai Chao Phraya? Padahal Kalimantan memiliki banyak sungai besar yang nggak kalah indahnya dengan Sungai Chao Phraya.
Berdasarkan luasnya, Sungai Chao Phraya hampir sama dengan Sungai Mentaya. Sama-sama luas dan terdapat pemukiman di bantaran sungai. Saya yakin Sungai Mentaya pun bisa sebersih dan senyaman Chao Phraya sepanjang pemerintah dan masyarakat mau bekerja keras dalam jangka panjang untuk mencapainya.
Sedangkan jika dipandang dari sisi lokasi, Sungai Chao Phraya dan Sungai Ciliwung mempunyai kesamaan, yakni berada di tengah ibukota negara. Bedanya, Sungai Ciliwung banyak permukiman kumuh dan sampah, sedangkan Chao Phraya bersih. Padahal sama-sama berada di tengah kota. Dalam hati ini, saya cuma berharap semoga Sungai Mentaya di Kotim bisa menjadi Chao Phraya-nya warga Sampit atau Sungai Ciliwung menjadi Chao Phraya-nya warga Indonesia. 
Setelah menyusuri sungai beberapa saat, rombongan jurnalis Kalimantan bersama Indosat singgah di Wat Arun (Temple of Dawn). Lokasinya tepat di pinggir Sungai Chao Phraya. Kuil Wat Arun adalah kuil agama Budha yang memang berada di distrik atau negara bagian Watarun, tepatnya di Thonburi.
Nama War Arun ditahbiskan oleh Raja Rama IV dengan arti candi fajar karena candi ini menghadap matahari terbit dan dulunya merupakan gerbang selamat datang bagi para pendatang yang datang melalui Sungai Chao Phraya. Jika dilihat dari arah timur saat pagi hari, candi ini terlihat bercahaya karena terkena sinar matahari.
Struktur utama kuil Wat Arun ini adalah Phra Prang yang berdiri setinggi 81 meter. Prang adalah struktur candi Khmer. Kuil yang sebagian besar dilapisi keramik dan didominasi warna kuning keemasan ini memang dibangun dengan campuran berbagai budaya, terutama Khmer, Thai, dan China.
Sebenarnya, Kuil Wat Arun jauh lebih indah dipandang dari jauh, apalagi pada malam hari. Sinar lampu yang diarahkan ke badan kuil dipantulkan oleh keramik-keramik sehingga memancarkan pesona yang sangat indah.
Kami pun naik ke atas kuil yang tangganya sangat tegak itu. Sesampainya di atas, aku melongo ke bawah. Busyet… jatungku berdetak kencang. Curam banget, benar-benar menakutkan saat akan kembali turun. Setelah mengumpulkan keberanian, akupun mulai menuruni tangga itu satu persatu dengan kengerian. Kalau pegangan tanganku lepas dan jatuh, bisa jadi rempeyek, nih. Naiknya mudah, tapi turunnya sulit, karena anak tangganya sempit dan tangganya curam. Lega rasanya saat sudah sampai bawah. Saya pun kembali melongok ke atas pagoda terbesar di dunia itu, ternyata benar-benar tinggi.
Di samping kuil yang dibangun sejak pemerintahan Raja Rama II ini ada pasar tradisional. Pasar itu menjual beragam barang yang berbau kepariwisataan, terutama cinderamata. Barang yang ditawarkan di sana lebih murah dibanding dengan pasar lainnya. Tiga kaos oblong dengan bordiran bertuliskan Bangkok dihargai 500 Baht atau sekitar Rp 160 ribu. Ada juga tas, patung gajah dan patung budha yang terbuat dari batu maupun kayu, kain, dan banyak lagi.
Uniknya, para pedagang di Pasar Wat Arun bisa berbahasa Indonesia, walaupun mereka bukan TKI atau pedagang dari Indonesia. Jadi turis dari Indonesia yang tak bisa bahasa Inggris, tetap bisa bertransaksi dengan mudah. Bayar dengan mata uang rupiah juga diterima di pasar ini. Saya pun bergumam dalam hati, kalau ada turis asing datang ke Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) Sampit, apakah bisa bayar dengan dolar, bath, dinar, atau ringgit, ya? Sepertinya tidak bisa.
Erwin Baharuddin, tour leader kami, mengatakan, kebanyakan wisatawan dari Indonesia berbelanja ke Pasar Wat Arun. Mereka ke pasar ini karena mendapat referensi dari kawan-kawan yang sebelumnya pernah ke Bangkok.
Sementara itu Imron mengatakan, para pedagang di Pasar Wat Arun diajari bahasa Indonesia agar lebih familiar dengan pembeli dari Indonesia. Mereka juga fasih berbahasa Inggris. Hal ini untuk merespon tingginya wisatawan dari Indonesia dan Malaysia.
”Yang mengajari mereka, para pelaku-pelaku usaha di sektor pariwisata, salah satunya tour guide seperti saya ini. Jika sebelumnya kurang sopan, kini pedagang di Wat Arun lebih ramah dan sabar menghadapi pembeli Indonesia yang suka tawar-menawar,” ujar Imron.
Memang banyak pelajaran yang bisa dipetik dari negeri gajah putih ini, mulai dari kesadaran menjaga kebersihan sungai, merespon keinginan wisatawan, hingga menjaga warisan-warsian budaya leluhur. Rasanya, perlu ada tulisan sambungan untuk menampung catatan perjalanan berikutnya, yakni tentang Pattaya, suatu wisata pantai yang mirip dengan Kuta Bali. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar