Pemerintah Thailand mampu memadukan konsep wisata dan dagang. Turis tak hanya disuguhi barang-barang siap jual, tapi juga diajak melihat proses pengambilan bahan dan cara produksi. Berikut catatan perjalanan saya di Thailand pada 16-19 Februari 2011.
Saat tiba di Gems Gallery Pattaya, saya berusaha menebak-nebak. Tempat apa ini? Hotel atau mall? Kami pun disambut perempuan cantik dan ramah, lalu disuguhi soft drink gratis di loby. Lumayan untuk pelepas dahaga.
Tak lama kemudian, rombongan jurnalis Kalimantan dan Indosat diajak naik kereta mini untuk menyusuri diorama alam bawah bumi. Saat kereta berhenti, seakan kami berada di dalam gunung yang sedang meletus. Ada semburan lava, lantai terbelah dan memerah.
Kereta kembali jalan beberapa meter, lalu berhenti lagi. Ada batu-batu mulia berwarna warni di atap goa, dinding, dan lantai goa. Saya baru paham, ternyata rombongan kami diajak menyaksikan proses terbentukan bantu mulia. Kereta mini yang kami tumpangi pun terus berjalan menuju proses berikutnya, yakni penambangan.
Logam mulia itu ditambang, lalu diolah oleh masyarakat Thailand yang punya keahlian membuat perhiasan, sedari dulu. Pola kerja yang dulunya tradisional dengan memahat langsung, beralih modern dengan semprot hidrolik dijabarkan lengkap. Hasilnya, berlian, delima, ruby, jamrud, dan, maaf saya tidak hafal nama-nama batu mulia itu. Sayang, di dalam goa ini kami tidak diperbolehkan mengabadikan dengan kamera. Teknologi tata ruang dan tata cahaya yang apik membuat wisata mini itu terkesan nyata. Dari satu set diorama ke lainnya, ada penjelasan berbahasa Indonesia. Ada puluhan tawaran bahasa untuk diorama ini.
Kami diajak menuju tempat pembuatan cincin, kalung, dan gelang yang berhiaskan batu mulia. Semua tampak nyata, kami hanya terpisahkan sekat kaca untuk melihat para pengrajin batu itu mengasah, mengukir, dan memperindah beragam batu mulia. Mereka seakan tidak terganggu dengan kedatangan kami, padahal dibutuhkan konsentrasi tingkat tinggi untuk mengerjakan pekerjaan itu.
Setelah proses pembuatan, akhirnya kami diajak ke show room batu mulia. Beragam batu mulia ada di sana dengan harga yang bervariasi. Kilaunya memikat beberapa rombongan untuk menawar dan akhirnya membeli. Sebuah konsep marketing yang jitu. Sayang, kami juga tidak diperbolehkan mengambil foto di show room Gems Gallery Pattaya ini.
Sebenarnya di negera kita juga ada pusat batu mulia, sebut saja pasar batu permata Rawabening di Jatinegara atau pasar permata di Martapura, Kalimantan Selatan. Pusat permata di Martapura sebenarnya tidak kalah, cuma Pattaya lebih pandai mengemasnya secara modern, nyaman dan informatif, menggunakan pendingin udara, sehingga di dalam gedung terasa nyaman. Tidak heran, bila Gems Gallery Pattaya ini tercatat dalam Guiness Book of Record sebagai pusat permata terbesar di dunia. Andai di Martapura bisa mendapat perhatian secara total, rekor itu bisa saja akan beralih ke Martapura. Tapi inilah wajah pariwisata negera kita, selalu mengeluh dana terbatas dari APBN.
Menurut saya, Thailand sepertinya sangat total dalam hal pelayanan kepada turis mancanegara. Salah satu buktinya adalah menyediakan guide elektronik dalam puluhan bahasa saat kami masuk kereta mini menyusuri diaroma perut bumi. Kreativitas seperti ini jelas lebih maju dibandingkan dengan negeri kita. Dengan panduan elektronik, kami serombongan tidak mengalami kesulitan menikmati tur dalam gua, melihat proses penggalian permata.
Ya, Gems Gallery Pattaya menawarkan konsep terpadu dalam berdagang. Mereka memberi wacana produk terlebih dahulu, baru berjualan. Sebuah konsep yang efektif dan yahud. Konsep dagang yang dipadukan dengan konsep wisata ini juga diterapkan oleh Big Bee Farm, sebuah pusat peternakan lebah dan pengolahan madu di Thailand.
Big Bee Farm yang menjual berbagai jenis madu untuk kesehatan sekaligus memberikan pengetahuan untuk membedakan madu yang asli dan tidak. Kami juga mendapat penjelasan tentang manfaat madu, royal jelly, dan bee polen. Namun, sebelum masuk ke produk yang dijual, kami diajak ke kebun untuk melihat sarang lebah dan jenis-jenis lebah.
Setelah selesai menjelajah kebun lebah, kami pun diajak ke museum lebah. Ruangan tidak besar, tapi cukup informatif. Dan endingnya, rombongan diajak ke showroom madu, bee polen, dan royal jelly. Ada juga beraneka coklat dan makanan kering lainnya yang bahannya terbuat dari madu. Harganya mulai dari 125 bath (kurs 1 bath = Rp 320).
Uniknya, madu ini dihasilkan oleh lebah dari sari bunga opium. Perkebunan opium terbentang subur di wilayah pegunungan utara. Seperti halnya madu di Indonesia, madu sari bunga opium ini memiliki beragam khasiat bagi kesehatan tubuh.
Kami pun juga sempat mampir di Pattaya Floating Market, sebuah pusat perbelanjaan di atas danau. Pasar souvenir khas Thailand ini berbentuk rumah kayu yang berada di tengah-tengah air. Wisatawan dapat menyewa perahu untuk mengelilingi area tersebut.
Keragaman makanan tidak hanya tersaji di rumah makan mewah, tetapi juga para pedagang kaki lima. Ada yang jual buah buahan pisang, duren, mie, tomyam, kelapa bakar, kelapa segar, pisang goreng, sampai dompet, kaos, topi lebar (topi petani) yang di cat warna warni, dan pernak pernik yang unik. Semua ada disini, bahkan saya juga menemukan menu belalang, kecoa, hingga kalajengking. Ada juga cumi asap, coconut ice cream. Meski berkonsep pasar tradisional, kondisi floating market tetap terjaga kebersihannya.
Ya, itulah pusat-pusat perbelanjaan yang dikemas menarik sehingga wisatawan merasa betah berlama-lama. Tak heran jika Thailand merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang terkenal sebagai tujuan wisata. Hal tersebut tidak terlepas dari promosi wisata yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Tidak hanya promosi terhadap obyek wisata dan seni budaya yang mereka miliki, tetapi juga terhadap aneka ragam kekayaan makanan.
Pada setiap lokasi wisata, hampir dapat ditemukan makanan-makanan dan suvenir khas negara tersebut. Bahkan, Thailand juga memiliki sentra-sentra pasar yang menjual jenis makanan tertentu.
Untuk memahami sejarah, di Pattaya juga ada Museum Ripley's Believe It or Not. Kami pun sempat mampir di tempat yang memiliki lebih dari 250 benda-benda aneh, unik, bahkan tak bisa dipercaya ini. Selain Museum Ripley's Believe It or Not, lokasi ini juga ada beberapa wahana yaitu, Haunted Adventure atau rumah hantu, Infinity Maze atau lorong sesat, dengan paduan kaca2 dan lampu yang membuat pengunjung tersasar, Moving Theater 4D atau film 3 dimensi dengan kursi yang dapat bergerak, dan Louis Tusssaud’s waxword yakni patung lilin dengan ukuran manusia yang sangat detail, mulai dari tokoh negawaran, artis Hollywood, bahkan sampai olahragawan.
Saat kami masuk Haunted Adventure atau rumah hantu, kami diberi tali sepanjang 3 – 4 meter. Tali itu untuk pegangan kami berenam agar tidak terpisah-pisah saat di dalam rumah hantu. Saking gelapnya dan bingung mencari jalan, semua sisi yang ada di sekeliling ruangan, kami dorong. Akhirnya ada pintu terbuka. Lega rasanya bisa keluar dari arena hantu itu. Ternyata pintu itu ilegal, bukan jalur sebenarnya, karena kami baru mencapai separoh perjalanan ruang hantu. Untung salah jalan, bisa keluar cepet. Bahkan hantunya sempat mengejar kami keluar arena untuk meminta talinya kembali.
Masih banyak lokasi yang belum bisa kami kunjungi karena keterbatasan waktu. Semoga lain waktu ada kesempatan lagi ke Thailand lagi atau ke negeri tetangga lainnya. Amin. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar