Selasa, 01 Maret 2011

Catatan Perjalan ke Thailand (4)

Gems Gallery Pattaya, Martapuranya Thailand

Pemerintah Thailand mampu memadukan konsep wisata dan dagang. Turis tak hanya disuguhi barang-barang siap jual, tapi juga diajak melihat proses pengambilan bahan dan cara produksi. Berikut catatan perjalanan saya di Thailand pada 16-19 Februari 2011.


Saat tiba di Gems Gallery Pattaya, saya berusaha menebak-nebak. Tempat apa ini? Hotel atau mall? Kami pun disambut perempuan cantik dan ramah, lalu disuguhi soft drink gratis di loby. Lumayan untuk pelepas dahaga.
Tak lama kemudian, rombongan jurnalis Kalimantan dan Indosat diajak naik kereta mini untuk menyusuri diorama alam bawah bumi. Saat kereta berhenti, seakan kami berada di dalam gunung yang sedang meletus. Ada semburan lava, lantai terbelah dan memerah.
Kereta kembali jalan beberapa meter, lalu berhenti lagi. Ada batu-batu mulia berwarna warni di atap goa, dinding, dan lantai goa. Saya baru paham, ternyata rombongan kami diajak menyaksikan proses terbentukan bantu mulia. Kereta mini yang kami tumpangi pun terus berjalan menuju proses berikutnya, yakni penambangan.
Logam mulia itu ditambang, lalu diolah oleh masyarakat Thailand yang punya keahlian membuat perhiasan, sedari dulu. Pola kerja yang dulunya tradisional dengan memahat langsung, beralih modern dengan semprot hidrolik dijabarkan lengkap. Hasilnya, berlian, delima, ruby, jamrud, dan, maaf saya tidak hafal nama-nama batu mulia itu. Sayang, di dalam goa ini kami tidak diperbolehkan mengabadikan dengan kamera. Teknologi tata ruang dan tata cahaya yang apik membuat wisata mini itu terkesan nyata. Dari satu set diorama ke lainnya, ada penjelasan berbahasa Indonesia. Ada puluhan tawaran bahasa untuk diorama ini.
Kami diajak menuju tempat pembuatan cincin, kalung, dan gelang yang berhiaskan batu mulia. Semua tampak nyata, kami hanya terpisahkan sekat kaca untuk melihat para pengrajin batu itu mengasah, mengukir, dan memperindah beragam batu mulia. Mereka seakan tidak terganggu dengan kedatangan kami, padahal dibutuhkan konsentrasi tingkat tinggi untuk mengerjakan pekerjaan itu.
Setelah proses pembuatan, akhirnya kami diajak ke show room batu mulia. Beragam batu mulia ada di sana dengan harga yang bervariasi. Kilaunya memikat beberapa rombongan untuk menawar dan akhirnya membeli. Sebuah konsep marketing yang jitu. Sayang, kami juga tidak diperbolehkan mengambil foto di show room Gems Gallery Pattaya ini.
Sebenarnya di negera kita juga ada pusat batu mulia, sebut saja pasar batu permata Rawabening di Jatinegara atau pasar permata di Martapura, Kalimantan Selatan. Pusat permata di Martapura sebenarnya tidak kalah, cuma Pattaya lebih pandai mengemasnya secara modern, nyaman dan informatif, menggunakan pendingin udara, sehingga di dalam gedung terasa nyaman. Tidak heran, bila Gems Gallery Pattaya ini tercatat dalam Guiness Book of Record sebagai pusat permata terbesar di dunia. Andai di Martapura bisa mendapat perhatian secara total, rekor itu bisa saja akan beralih ke Martapura. Tapi inilah wajah pariwisata negera kita, selalu mengeluh dana terbatas dari APBN.
Menurut saya, Thailand sepertinya sangat total dalam hal pelayanan kepada turis mancanegara. Salah satu buktinya adalah menyediakan guide elektronik dalam puluhan bahasa saat kami masuk kereta mini menyusuri diaroma perut bumi. Kreativitas seperti ini jelas lebih maju dibandingkan dengan negeri kita. Dengan panduan elektronik, kami serombongan tidak mengalami kesulitan menikmati tur dalam gua, melihat proses penggalian permata. 
Ya, Gems Gallery Pattaya menawarkan konsep terpadu dalam berdagang. Mereka memberi wacana produk terlebih dahulu, baru berjualan. Sebuah konsep yang efektif dan yahud. Konsep dagang yang dipadukan dengan konsep wisata ini juga diterapkan oleh Big Bee Farm, sebuah pusat peternakan lebah dan pengolahan madu di Thailand.
Big Bee Farm yang menjual berbagai jenis madu untuk kesehatan sekaligus memberikan pengetahuan untuk membedakan madu yang asli dan tidak. Kami juga mendapat penjelasan tentang manfaat madu, royal jelly, dan bee polen. Namun, sebelum masuk ke produk yang dijual, kami diajak ke kebun untuk melihat sarang lebah dan jenis-jenis lebah.
Setelah selesai menjelajah kebun lebah, kami pun diajak ke museum lebah. Ruangan tidak besar, tapi cukup informatif. Dan endingnya, rombongan diajak ke showroom madu, bee polen, dan royal jelly. Ada juga beraneka coklat dan makanan kering lainnya yang bahannya terbuat dari madu. Harganya mulai dari 125 bath (kurs 1 bath = Rp 320).
Uniknya, madu ini dihasilkan oleh lebah dari sari bunga opium. Perkebunan opium terbentang subur di wilayah pegunungan utara. Seperti halnya madu di Indonesia, madu sari bunga opium ini memiliki beragam khasiat bagi kesehatan tubuh.
Kami pun juga sempat mampir di Pattaya Floating Market, sebuah pusat perbelanjaan di atas danau. Pasar souvenir khas Thailand ini berbentuk rumah kayu yang berada di tengah-tengah air. Wisatawan dapat menyewa perahu untuk mengelilingi area tersebut.
Keragaman makanan tidak hanya tersaji di rumah makan mewah, tetapi juga para pedagang kaki lima. Ada yang jual buah buahan pisang, duren, mie, tomyam, kelapa bakar, kelapa segar, pisang goreng, sampai dompet, kaos, topi lebar (topi petani) yang di cat warna warni, dan pernak pernik yang unik. Semua ada disini, bahkan saya juga menemukan menu belalang, kecoa, hingga kalajengking. Ada juga cumi asap, coconut ice cream. Meski berkonsep pasar tradisional, kondisi floating market tetap terjaga kebersihannya.
Ya, itulah pusat-pusat perbelanjaan yang dikemas menarik sehingga wisatawan merasa betah berlama-lama. Tak heran jika Thailand merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang terkenal sebagai tujuan wisata. Hal tersebut tidak terlepas dari promosi wisata yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Tidak hanya promosi terhadap obyek wisata dan seni budaya yang mereka miliki, tetapi juga terhadap aneka ragam kekayaan makanan.
Pada setiap lokasi wisata, hampir dapat ditemukan makanan-makanan dan suvenir khas negara tersebut. Bahkan, Thailand juga memiliki sentra-sentra pasar yang menjual jenis makanan tertentu.
Untuk memahami sejarah, di Pattaya juga ada Museum Ripley's Believe It or Not. Kami pun sempat mampir di tempat yang memiliki lebih dari 250 benda-benda aneh, unik, bahkan tak bisa dipercaya ini. Selain Museum Ripley's Believe It or Not, lokasi ini juga ada beberapa wahana yaitu, Haunted Adventure atau rumah hantu, Infinity Maze atau lorong sesat, dengan paduan kaca2 dan lampu yang membuat pengunjung tersasar, Moving Theater 4D atau film 3 dimensi dengan kursi yang dapat bergerak, dan Louis Tusssaud’s waxword yakni patung lilin dengan ukuran manusia yang sangat detail, mulai dari tokoh negawaran, artis Hollywood, bahkan sampai olahragawan.
Saat kami masuk Haunted Adventure atau rumah hantu, kami diberi tali sepanjang 3 – 4 meter. Tali itu untuk pegangan kami berenam agar tidak terpisah-pisah saat di dalam rumah hantu. Saking gelapnya dan bingung mencari jalan, semua sisi yang ada di sekeliling ruangan, kami dorong. Akhirnya ada pintu terbuka. Lega rasanya bisa keluar dari arena hantu itu. Ternyata pintu itu ilegal, bukan jalur sebenarnya, karena kami baru mencapai separoh perjalanan ruang hantu. Untung salah jalan, bisa keluar cepet. Bahkan hantunya sempat mengejar kami keluar arena untuk meminta talinya kembali.
Masih banyak lokasi yang belum bisa kami kunjungi karena keterbatasan waktu. Semoga lain waktu ada kesempatan lagi ke Thailand lagi atau ke negeri tetangga lainnya. Amin. (***)

Jumat, 25 Februari 2011

Catatan Perjalanan ke Thailand (3)


Pattaya, Kota Pesta dengan Seabrek Waria

Ingar bingar hiburan dari pagi hingga pagi lagi ada di Kota Pattaya. Urusan maksiat pun nggak ada yang ngelarang. Bahkan, eksistensi waria menjadi komoditas pariwisata bertaraf internasional. Berikut catatan perjalanan saya di Thailand pada 16-19 Februari 2011.

SETELAH berkunjung ke sejumlah obyek wisata budaya di Kota Bangkok, kami melanjutkan perjalanan ke Pattaya, sebuah kota yang terletak di pesisir Teluk Thailand, tenggara Bangkok di Provinsi Chonburi. Kota ini merupakan pusat pariwisata terbesar di Thailand. Karakter Bangkok dan Pattaya sangat beda. Di Bangkok kental dengan wisata budaya, sedangkan Pattaya dikenal karena pantai dan hiburan malamnya.
Dari Bangkok ke Pattaya memakan waktu hampir dua jam tanpa macet. Jalan menuju ke pusat wisata di negeri gajah putih ini hampir sama dengan jalan tol Jakarta-Cikampek. Luas dan mulusnya jalan mirip. Bedanya, jika tol Jakarta–Cikampek terkadang macet, di jalan Bangkok–Pattaya lancar banget. Saya berpikir, rem blong pun kayaknya aman-aman saja di jalan ini. Tidak berkelok, tidak naik turun, dan lancar. Andai saja jalan Sampit-Samuda seperti ini, pasti TOP banget, tidak ada lagi truk terbalik gara-gara kubangan lumpur di tengah jalan.
Suasana sore di Pattaya cukup ramai. Pertokoan juga buka lebih larut malam. Jika pertokoan di Bangkok buka sampai pukul 22.00 WIB (waktu di Bangkok dan Waktu Indonesia Barat sama), pertokoan di Pattaya banyak yang buka hingga pukul 00.00 WIB. Sedangkan tempat hiburan malam buka sampai pagi.
Kata Pak Imron selaku pemandu wisata rombongan Jurnalis Kalimantan dan Indosat selama di Thailand, Pattaya awalnya hanya desa nelayan kecil. Pada tahun 1960-an, pasukan Amerika dari markas AU di Provinsi Rayong, istirahat di daerah ini sekaligus refresing. Kota ini pun tumbuh pesat, sebagian besar karena kehidupan malam.
Apa yang dikatakan Imron bukan omong kosong. Saat hari mulai gelap, kami menyusuri pantai menuju hotel, luar biasa ramainya. Sebelah kanan ada pantai, sebelah kiri ada kafe, bar, diskotek, hotel berbintang, dan berbagai hiburan malam lainnya. Semua khusus orang dewasa. Antara pantai dan lokasi hiburan malam hanya dibatasi jalan beraspal sepanjang Pantai Pantaya.  
Bisa dikatakan, Pattaya adalah kota pesta. Ingar bingar hiburan dari pagi hingga pagi lagi ada di kota ini. Ya, sepertinya kota ini memang aman untuk urusan maksiat, nggak ada yang ngelarang. Kafe-kafe di sepanjang Pantai Pattaya penuh. Kebanyakan turis dari eropa dengan ditemani perempuan malam, jika dilihat dari wajahnya sih, perempuan lokal.
Perempuan malam di sana macam-macam, ada yang cantik ada yang pas-pasan, juga ada yang wanita jadi-jadian alias bencong. Bukannya saya pakar bencong yang bisa mendeteksi mana yang waria mana yang bukan, tapi jika diperhatikan betul-betul memang ada bedaknya kok. Anehnya, bule-bule itu kok mau ya ditemani bencong, sambil peluk-pelukan lagi. Seremnya. Kalau saya jadi germo di diskotek, bukan bencong yang saya sediakan, tapi cewek betulan.
Sekarang giliran menyusuri sisi bibir pantai yang agak remang-remang. Di pantai ini, bencongnya sangar-sangar bin nekat-nekat. Dua kawan saya, Erwin dan Dragon (Samarinda Pos), yang jalan tepat di depan saya, dirayu puluhan ladyboy yang levelnya tak jauh dengan waria di Taman Kota Sampit. Merayunya ada yang pakai bahasa Inggris ada juga yang menggunakan bahasa Thai. Bahkan ada waria yang langsung memeluk dua kawan saya itu. Erwin dan Dragon sempat panik. Saya yang jalan bareng Nina Soraya (Tribun Pontianak) hanya tertawa melihat reaksi teman-teman yang digoda waria di pinggir pantai. Ternyata, waria di sana suka menggoda para lelaki yang jalan tanpa pasangan. Untunglah di samping saya ada teman perempuan dari Pontianak, jadi tidak begitu direcoki waria-waria genit itu.
Suasananya benar-benar mirip di Kuta, Bali. Obyek wisata yang tak pernah tidur. Siang bergelut degang deburan ombak, saat malam giliran dugem. Bagi penghobi belanja, deretan penjaja souvenir sudah membuka lapak di pinggir jalan hingga mall juga ada di pinggir pantai. Wisatawan tinggal jalan kaki.
Namun, pertunjukan andalan di Pattaya yang tidak ada di Kuta, Bali, adalah kabaret. Sungguh sulit dipercaya bahwa sosok cantik di atas panggung itu sebenarnya adalah pria. Pagelaran tersebut menggambarkan berbagai budaya dan cerita. Selain Thailand, mereka juga menampilkan tari dan lagu dari Vietnam, Jepang, Melayu (lengkap dengan lagu Cindai milik Siti Nurhalizah), Korea, dan Timur Tengah. Ada juga penari bertelanjang dada yang dilapis warna perak dan emas dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ada yang menampilkan gaya Hudsen di IMB dengan dua karakter, hingga pertunjukan ala Lady Gaga. Kompak dan apik banget.
Tata panggung yang cantik, kostum pemain yang elegan, akting para waria yang menghayati peran, semuanya membuat penonton betah duduk selama satu jam. Yang paling bikin saya berdecak kagum adalah tata panggung di Gedung Alcazar Show. Dalam satu jam, desain panggung berubah lebih dari lima kali. Tata panggung bukan background lukisan, tapi betul-betul bentuk tiga dimensi. Pemainnya muncul tidak hanya dari samping kanan kiri, tapi juga dari atas dan bawah.
Saat ingin menyaksikan pertunjukan ini, kami harus booking tiket lebih dahulu. Kalau tidak, sudah pasti kehabisan tiket yang harganya 400 bath itu. Pertunjukan ladyboy ini adalah pertunjukan favorit yang digemari oleh wisatawan sehingga tiket selalu terjual habis. Lebih dari 1.000 kursi di dalam gedung juga terisi penuh. Setiap hari, sejak sore, mereka menggelar tiga kali pertunjukan. Mulai jam 6.30, dan 8.00 serta 9.30 malam.
Setelah pertunjukan selesai, para waria akan keluar dan menjumpai penonton dan mengajak mereka berfoto bersama. Mereka meminta 40 bath sebagai imbalan. Ya, begitulah cara mereka untuk menambah penghasilan. Jika penonton ingin berfoto dengan didampingi dua bencong cantik atau dua penonton foto dengan satu bencong, maka harus bayar 80 bath.
Waria di Thailand memang mendapat perlakuan khusus. Berbeda dengan di negara kita, yang seringkali dicaci atau diintimidasi. Mereka kerap dianggap penyakit sosial. Namun itu nasib mereka di Indonesia. Di Thailand, banci justru menjadi primadona industri hiburan.
Waria Thailand tak hanya tampil cantik, tapi juga kreatif dalam unjuk kebolehan. Pemerintah pun memberikan dukungan atas kreativitas waria tersebut dengan dijadikan salah satu komoditas wisata di Pattaya. Tak heran jika Pattaya sering kali menjadi tempat kontes waria sedunia. Itulah sebabnya, Pattaya sangat identik dengan para waria. Kriterianya beauty, smart, creative, dan energetic. Bahkan beberapa kali kontes waria sedunia dimenangi oleh waria dari Pattaya yang memang terkenal cantik dan molek. “Karena itulah banyak orang asing suka operasi kulit di Thailand,” kata Imron, pemandu wisata kami.
Berkat kecanggihan operasi transeksual, para banci itu bisa memiliki kulit mulus, jari lentik dan wajah ayu. Bahkan mereka punya payudara montok, meskipun hanya dari silikon.
Cukup rasanya ngomongin waria. Secantik apapun, tetap bencong. Kini giliran ngomongin hiburan di Pattaya saat pagi dan siang hari. Pagi hari, dengan menggunakan pakaian santai atau apa saja yang bikin santai, kami menikmati pantai. Celana pendek, T-shirt, sandal cepit, atau telanjang kaki saja juga boleh. Bagi perempuan yang mau berbikini juga boleh. Tetapi, teman-teman jurnalis dari Kalimantan tidak ada yang menggunakan bikini. Mereka masih ada ewuh pekewuh khas orang timur.
Di bibir pantai terdapat ribuan payung dan tempat untuk rebahan para turis yang biayanya 60 bath. Lokasi berenang pun tidak bisa sembarangan. Pengelola pantai memberi batas-batas lokasi berenang sehingga tidak mengganggu aktivitas speedboat atau pun jetski.
Berbagai pilihan mainan air ada di pantai ini, mulai banana boat atau perahu pisang, paraseling, hingga menyelam. Bagi mereka yang ingin memompa adrenalin, paraseling jadi pilihan yang tepat. Bisa dibayangkan bagaimana di tengah hempasa angin laut yang kuat, kita tergantung tinggi di udara dengan menggunakan parasit. Ada banyak lokasi wisata di Pattaya, namun karena keterbatasan waktu kami tidak bisa mengunjungi sampai habis.
Sebelum pulang, tentu pelancong tak lupa dengan oleh-oleh. Uniknya, Thailand mampu mengemas sebuah pusat perbelanjaan secara terpadu, mulai dari pencarian bahan, pengolahan, hingga penjualan. Catatan selengkapnya akan saya sampaikan pada hari berikutnya. (bersambung)

Kamis, 24 Februari 2011

Catatan Perjalanan ke Thailand (2)


Chao Phraya, Seperti Mentaya Tapi Tak Ada WC Terapung

Wat Arun atau Temple of Dawn di Bangkok.

Banyak rumah di bantaran Sungai Chao Phraya, tapi tidak ada sampah dan WC yang nangkring di atas sungai. Di tepi sungai ini terdapat Pasar Wat Arun yang para pedagangnya bisa berbahasa Indonesia dan rupiah pun diterima. Berikut catatan perjalanan saya di Thailand pada 16–19 Februari 2011.


SELAIN Grand Palace yang menjadi keratonnya Thailand, ada beberapa tempat suci lainnya di Bangkok. Lokasinya ada di tepi Sungai Chao Phraya atau Kings of River. Lokasi yang menarik minat turis mengunjungi Sungai Chao Phraya adalah di depan Vihara Wat Srisudaram. Di sana terdapat ribuan ikan patin berukuran besar yang jinak.
Selain mengantar pengunjung, sopir kelotok wisata juga menyediakan roti tawar agar turis dapat memberi makanan kepada ribuan ikan patin yang mengelilingi kapal wisata. Begitu potongan roti dihamburkan, ribuan ikan patin bermunculan dari dalam sungai.
Pemandu wisata, Imron, menjelaskan bahwa ribuan ikan patin itu tidak boleh dipancing atau digoreng oleh penduduk setempat. Jika ada orang yang menangkapnya maka orang tersebut akan mengalami hal yang buruk. Orang-orang sangat dianjurkan untuk memberikan makanan kepada ikan-ikan patin tersebut karena bisa mendatangkan keberuntungan.
Ikan Patin di Sungai Chao Phraya.
“Ikan ini hanya berkumpul di depan kuil dan dianggap keramat. Kalau keluar dari wilayah ini, sudah pasti jadi asam manis (menu ikan asam manis),” ucap Imron lantas tertawa.
Saat menyusuri Sungai Chao Phraya, saya jadi teringat Sungai Mentaya  di Kotawaringin Timur. Di pinggir sungai berderet rumah yang disangga dengan kayu. Warga juga mempergunakan sungai untuk mencuci pakaian. Bedanya, Sungai Chao Phraya ini tak ada sampahnya.
Di Sungai terbesar di Bangkok ini, kami juga melihat berbagai pemandangan menarik, antara lain Grand Palace (Istana Raja Thailand), kuil-kuil Budha (Wat), hotel berbintang, pasar tradisional, dan beberapa jembatan yang cantik. Air Sungai Chao Phraya memang berwarna coklat, karena sungai ini membawa endapan lumpur. Namun, sungai ini sangat bersih. Tak terlihat satupun sampah di permukaan sungai. Pada siang hari, sungai diramaikan penduduk yang berdagang. Sejumlah perahu pedagang berseliweran.
Bila ingin cendera mata, kapal kecil di pinggir sungai juga siap melayani. Tentu saja bukan cendera mata murah namun rendah kualitasnya. Mereka akan mendekat dan menawari kami berbagai jenis cendera mata, mulai dari kapal, bunga, kipas, gantungan kunci, dan lain-lain. Yang pasti, cendera mata yang dijual benar-benar khas budaya lokal.
Kapal yang disediakan bagi wisatawan mulai dari kapal kecil hingga kapal besar yang bisa ditumpangi puluhan orang. Kapal-kapal yang berdesain tradisional mendominasi angkutan wisata di tempat itu. Dengan kapal mesin bermotor, wisatawan diajak untuk menyusuri Sungai Chao Phraya yang sangat lebar dan luas.
Sungai Chao Phraya merupakan pertemuan dari empat sungai kecil Ping, Wang, Yom, dan Nan di daerah Nakhon Sawan yang berada di wilayah utara Thailand. Panjang Sungai Chao Phraya diperkirakan mencapai 300 kilometer hingga bermuara di Teluk Thailand.
Sungai Chao Phraya berfungsi mulai dari untuk irigasi, pasar terapung, dan menjadi tulang punggung transportasi penduduk sekitar melalui kanal-kanal yang ada. Sungai ini menjadi sarana transportasi yang sangat vital sejak Kota Bangkok didirikan tahun 1782. Denyut nadi kehidupan Bangkok ada di sungai itu. Ya, karakternya seperti di Kalimantan, kota tumbuh di pinggir sungai.
Sepuluh tahun yang lalu, kata pemandu wisata kami, Sungai Chao Phraya sering menyebabkan banjir. Akan tetapi, setelah dibangun pintu-pintu air di ujung kanal, kini Sungai Chao Phraya tak lagi menyebabkan banjir. Di pinggir sungai juga dibangun siring pembatas agar air tidak tumpah ke daratan. “Bangkok berada hanya 75 centimeter di atas permukaan laut. Jadi rawan banjir,” tutur Imron.
Di Chao Phraya, meski banyak rumah yang berdiri di pinggir sungai, tidak ada kotoran maupun sampah yang mengapung. Semua bersih, tak ada pula WC umum yang nangkring di pinggir sungai. Beda banget ya sama sungai di Kalimantan.
Saya benar-benar salut dan iri pada pemerintah Thailand yang bisa menjaga sungainya tetap bersih sehingga bisa menjadi tujuan wisata. Kapan ya, sungai-sungai di Kalimantan bisa bersih seperti Sungai Chao Phraya? Padahal Kalimantan memiliki banyak sungai besar yang nggak kalah indahnya dengan Sungai Chao Phraya.
Berdasarkan luasnya, Sungai Chao Phraya hampir sama dengan Sungai Mentaya. Sama-sama luas dan terdapat pemukiman di bantaran sungai. Saya yakin Sungai Mentaya pun bisa sebersih dan senyaman Chao Phraya sepanjang pemerintah dan masyarakat mau bekerja keras dalam jangka panjang untuk mencapainya.
Sedangkan jika dipandang dari sisi lokasi, Sungai Chao Phraya dan Sungai Ciliwung mempunyai kesamaan, yakni berada di tengah ibukota negara. Bedanya, Sungai Ciliwung banyak permukiman kumuh dan sampah, sedangkan Chao Phraya bersih. Padahal sama-sama berada di tengah kota. Dalam hati ini, saya cuma berharap semoga Sungai Mentaya di Kotim bisa menjadi Chao Phraya-nya warga Sampit atau Sungai Ciliwung menjadi Chao Phraya-nya warga Indonesia. 
Setelah menyusuri sungai beberapa saat, rombongan jurnalis Kalimantan bersama Indosat singgah di Wat Arun (Temple of Dawn). Lokasinya tepat di pinggir Sungai Chao Phraya. Kuil Wat Arun adalah kuil agama Budha yang memang berada di distrik atau negara bagian Watarun, tepatnya di Thonburi.
Nama War Arun ditahbiskan oleh Raja Rama IV dengan arti candi fajar karena candi ini menghadap matahari terbit dan dulunya merupakan gerbang selamat datang bagi para pendatang yang datang melalui Sungai Chao Phraya. Jika dilihat dari arah timur saat pagi hari, candi ini terlihat bercahaya karena terkena sinar matahari.
Struktur utama kuil Wat Arun ini adalah Phra Prang yang berdiri setinggi 81 meter. Prang adalah struktur candi Khmer. Kuil yang sebagian besar dilapisi keramik dan didominasi warna kuning keemasan ini memang dibangun dengan campuran berbagai budaya, terutama Khmer, Thai, dan China.
Sebenarnya, Kuil Wat Arun jauh lebih indah dipandang dari jauh, apalagi pada malam hari. Sinar lampu yang diarahkan ke badan kuil dipantulkan oleh keramik-keramik sehingga memancarkan pesona yang sangat indah.
Kami pun naik ke atas kuil yang tangganya sangat tegak itu. Sesampainya di atas, aku melongo ke bawah. Busyet… jatungku berdetak kencang. Curam banget, benar-benar menakutkan saat akan kembali turun. Setelah mengumpulkan keberanian, akupun mulai menuruni tangga itu satu persatu dengan kengerian. Kalau pegangan tanganku lepas dan jatuh, bisa jadi rempeyek, nih. Naiknya mudah, tapi turunnya sulit, karena anak tangganya sempit dan tangganya curam. Lega rasanya saat sudah sampai bawah. Saya pun kembali melongok ke atas pagoda terbesar di dunia itu, ternyata benar-benar tinggi.
Di samping kuil yang dibangun sejak pemerintahan Raja Rama II ini ada pasar tradisional. Pasar itu menjual beragam barang yang berbau kepariwisataan, terutama cinderamata. Barang yang ditawarkan di sana lebih murah dibanding dengan pasar lainnya. Tiga kaos oblong dengan bordiran bertuliskan Bangkok dihargai 500 Baht atau sekitar Rp 160 ribu. Ada juga tas, patung gajah dan patung budha yang terbuat dari batu maupun kayu, kain, dan banyak lagi.
Uniknya, para pedagang di Pasar Wat Arun bisa berbahasa Indonesia, walaupun mereka bukan TKI atau pedagang dari Indonesia. Jadi turis dari Indonesia yang tak bisa bahasa Inggris, tetap bisa bertransaksi dengan mudah. Bayar dengan mata uang rupiah juga diterima di pasar ini. Saya pun bergumam dalam hati, kalau ada turis asing datang ke Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) Sampit, apakah bisa bayar dengan dolar, bath, dinar, atau ringgit, ya? Sepertinya tidak bisa.
Erwin Baharuddin, tour leader kami, mengatakan, kebanyakan wisatawan dari Indonesia berbelanja ke Pasar Wat Arun. Mereka ke pasar ini karena mendapat referensi dari kawan-kawan yang sebelumnya pernah ke Bangkok.
Sementara itu Imron mengatakan, para pedagang di Pasar Wat Arun diajari bahasa Indonesia agar lebih familiar dengan pembeli dari Indonesia. Mereka juga fasih berbahasa Inggris. Hal ini untuk merespon tingginya wisatawan dari Indonesia dan Malaysia.
”Yang mengajari mereka, para pelaku-pelaku usaha di sektor pariwisata, salah satunya tour guide seperti saya ini. Jika sebelumnya kurang sopan, kini pedagang di Wat Arun lebih ramah dan sabar menghadapi pembeli Indonesia yang suka tawar-menawar,” ujar Imron.
Memang banyak pelajaran yang bisa dipetik dari negeri gajah putih ini, mulai dari kesadaran menjaga kebersihan sungai, merespon keinginan wisatawan, hingga menjaga warisan-warsian budaya leluhur. Rasanya, perlu ada tulisan sambungan untuk menampung catatan perjalanan berikutnya, yakni tentang Pattaya, suatu wisata pantai yang mirip dengan Kuta Bali. (bersambung)

Rabu, 23 Februari 2011

Catatan Perjalanan ke Thailand (1)


Catatan Perjalanan ke Thailand (1)
Meski Macet, Tak Ada Suara Bising Klakson
Istana Raja Rava V di Grand Palace, Bangkok, Thailand. Arsitektur bangunan sudah bercampur dengan gaya eropa, namun atapnya tetap menggunakan gaya Thailand kuno. (foto: erwin/dewi wisata makasar)


Wisata budaya dan alam di Thailand tak jauh berbeda dengan Indonesia. Namun, negara gajah putih itu jauh lebih unggul dalam mengelola obyek wisata yang biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Berikut catatan saya selama di Thailand pada 16-19 Februari 2011


Berkat karya jurnalistik, saya bisa jalan-jalan gratis ke Thailand plus uang saku. Itulah yang saya alami setelah menyabet Juara III KRO Journalis Writing Competition yang digelar Indosat Regional Kalimantan. Kawan-kawan wartawan lainnya yang berhak menikmati liburan ini adalah Rita (Tribun Kaltim), Nina Soraya (Tribun Pontianak), Sigit Rahmawan Abadi (Banjarmasin Post), Dragono Halim (Samarinda Post) dan Chandra Dollores (Balikpapan Post). Namun sayang, Rita sedang menikah dan Sigit ada kepentingan lain sehingga tidak bisa ikut ke negeri yang belum pernah dijajah itu. Kami juga didampingi tour leader dari Dewi Wisata Erwin Baharudin dan Divisi Marketing & Sales Support Indosat Umi Farida.
Saya mulai perjalanan dari Palangka Raya karena Sampit dikira tidak ada penerbangan ke Jakarta. Setelah saya konfirmasi ke tour leader Erwin Baharudin, dia mengatakan bahwa di Sampit cuma ada satu penerbangan ke Jakarta. “Terlalu berisiko, kalau pesawatnya delay, anda bisa batal ke Thailand,” kata Erwin.
Saat di Palangka Raya pun saya harus senam jantung. Batavia Air yang dijadwalkan pukul 10.00 WIB, ternyata baru boarding pukul 13.15 WIB. “Waduh, delay tiga jam, nggak jadi plesiran ke Thailand nih,” ucapku dalam hati. Ya sudah lah, pasrah. Andai ketinggalan Air Asia tujuan Bangkok, saya akan berhenti di Jakarta saja, paling tidak, bisa ketemu saudara-saudara saya di Jakarta.
Akhirnya pukul 13.30 WIB Batavia Air take off dari Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya dan tiba di Bandara Soekarno Hatta (Soetta) hampir pukul 15.00 WIB. Padahal rombongan sudah harus kumpul pukul 14.00 WIB. Untungnya Air Asia mau menunggu hingga saya tiba di bandara. Baik banget ya pilot Air Asia. Dia mungkin tahu kalau saya baru pertama kali mau ke Thailand, jadi ditungguin. Hehe… cuma guyon. Pesawat bukannya nungguin saya, tapi memang berangkatnya pukul 16.20 WIB.
Akhirnya rombongan sebanyak tujuh orang tiba di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, pukul 20.00 WIB. Yang cukup lama di bandara Bangkok adalah proses imigrasi. Kira kira butuh waktu 30 menit karena antreannya cukup panjang. Meski sudah malam tapi bandara tetap ramai. Beda dengan suasana Bandara H Asan Sampit, sunyi mulai pukul 17.00 WIB.
Waktu menyusuri Bandara Suvarnabhumi, saya jadi malu dengan kondisi Bandara Soetta. Ketinggalan jauh. Lorong-lorong Bandara Suvarnabhumi dihiasi tanaman dan dindingnya penuh lukisan khas budaya Thailand. Sambil jalan di eskalator menuju lokasi pengambilan bagasi, kami bisa menikmati lukisan yang indah. Bahkan ada mallnya juga.
Kawan-kawan jurnalis kalimantan, kecuali yang paling depan, mbak umi, dari Indosat.
Sebelum keluar bandara, tak lupa saya mengambil buku dan pamflet panduan wisata di bandara. Ada bermacam-macam dan gratis. Namun saya salah mengambil. Panduan yang saya ambil ternyata berbahasa Thai. Di dalamnya ada peta kota, foto-foto lokasi hiburan malam, hingga wisata alam, namun saya tidak paham tulisannya.
Setelah mengambil bagasi kami langsung diajak naik minibus warna putih merek Toyota. Meski ada delapan orang plus sopir, namun tempat duduk masih longgar. Bahkan saya kursi di samping saya masih kosong. Kendaraan yang cukup nyaman untuk keliling.
”Kalau anda jalan-jalan dari Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, lalu pulang lagi ke Jakarta, pasti iri lihat bandara di negeri tetangga. Bandara di Jakarta agak ketinggalan ,” ucap Imran, local guide  yang mahir berbahasa Indonesia. Imran adalah warga asli Bangkok yang menemani kami selama tour di Bangkok dan Pattaya. Dia ternyata memiliki istri dari Jakarta, sehingga fasih bahasa Indonesia dan guyon-guyon orang melayu.
Kami meluncur ke Hotel Baiyoke di pusat Kota Bangkok. Sebelum sampai di hotel, kami makan dulu di sebuah restoran muslim. Menu telur dadar dan ikan bumbu asam manis sudah cukup akrab dengan lidah saya, sedangkan sayur berkuahnya agak aneh rasanya. Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke hotel. Kata orang sih Bangkok macet, tapi malam itu kami belum menemui kemacetan. Entah hari berikutnya.
Pada malam pertama, kami hanya jalan jalan di sekitar hotel. Di lokasi ini banyak pedagang makanan dan pakaian yang suasananya mirip Pasar Blauran Sampit. Harganya pun tak jauh beda dengan Indonesia. 
Kemacetan di Kota Bangkok. (foto: heru prayitno)
 Pada hari kedua, baru lah kami keliling ke tempat-tempat wisata di Bangkok. Tujuan pertama adalah Grand Palace. Butuh waktu 50 menit untuk sampai di keratonnya Thailand itu. Selama perjalanan, kami sempat menemui kemacetan, tapi tidak separah macet di Jakarta. Hanya di beberapa titik persimpangan karena menanti perubahan lampu merah, bukan lantaran berebut duluan seperti di Jakarta.
Budaya antre dan sabar menanti sangat terasa dari perilaku warga, baik yang mengendarai kendaraan pribadi maupun supir supir angkutan umum seperti bis kota tua sekalipun. Uniknya lagi, kami tidak mendengar ada suara klakson di sepanjang jalan. Mobil yang di belakang sabar menunggu antrean. Orang melintas diberi kesempatan menyeberang duluan.
”Di sini, kalau pengendara bunyikan klakson di jalan, dianggap orang baru turun dari hutan. Bunyikan klakson itu tidak sopan,” ucap Imran, local guide yang mendampingi rombongan kami.
Selain itu, di persimpangan-persimpangan sangat jarang terlihat polisi lalu lintas. Bandingkan dengan Jakarta, hampir setiap persimpangan di jalan-jalan utama ramai oleh Polantas. Tanpa polantas, lampu merah pun dicuekin.
Di Bangkok, masih ada angkutan kota berupa bus-bus tua yang tidak ber-AC. Jendela-jendelanya bahkan sudah terbuka lebar. Namun, biar tua, tetap santun di jalan, tidak ugal-ugalan ala metro mini. Selain bus, ada juga skytrain BTS (Bangkok Mass Transit System) dan kereta api bawah tanah MRT.
Bangkok juga memiliki armada taksi. Di kap atas tertera tulisan Taxi Meter. Ada juga tuk tuk, bentuknya seperti bajai tapi lebih terbuka.  Angkutan khas Thailand ini bisa dicarter untuk keliling Kota Bangkok sesuai keinginan penumpang. “Naik tuk tuk harus tawar menawar. Tapi hati-hati kalau diajak ke tempat bukan tujuan kita, misalnya ke rumah makan. Naik tuk tuk murah, tapi kita bisa jebol di rumah makan,” tutur Imron.
Grand Palace, Bangkok, Thailand. (foto: imron/local guide)
Tak terasa hampir satu jam kami menyusuri jalanan di Kota Bangkok. Kami pun tiba di Grand Palace. Ini merupakan istana raja Thailand dengan arsitektur khas Thailand kuno yang dihiasi oleh lapisan kuning emas sehingga memberikan kesan yang mewah dan berwibawa. Istana ini bertepian dengan Chaou Praya River atau The King of River, sebuah sungai yang membelah Kota Bangkok.
Grand Palace juga merupakan simbol negara Thailand dan salah satu museum terlengkap. Arsitekturnya juga terjadi alkulturasinya dengan barat dan negara asia lainnya. Bangunan yang didirikan tahun 1782 ini dikelilingi tembok putih sepanjang 1900 meter, mengingatkan kembali pada Kraton Yogyakarta maupun Surakarta yang juga memusatkan aktivitasnya di area dalam tembok benteng (njeron beteng).
Pemandu wisata Imron mengatakan, Grand Palace minimal dikunjungi 7.000 wisatawan per hari dengan tarif tiket masuk 350 bath per orang (kurs 1 bath = Rp 320). Jadi pada saat sepi saja, pemasukan Grand Palace mencapai Rp 784 juta. Sedangkan saat ramai lebih dari Rp 1 miliar per hari. Itu baru satu lokasi wisata, belum termasuk puluhan wisata lainnya.
Ya, Thailand memang mengandalkan industri pariwisata sebagai pemasukan devisa utama untuk modal pembangunan. Fakta ini terbukti nyata, Thailand fokus pada sektor wisata untuk mendatangkan devisa dalam negerinya.  
Setiap tahun di negeri Siam ini tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan asing. Bagi warga Indonesia, sebelum ke Tailand sebaiknya menukarkan  uang bath di negeri sendiri atau bawa dolar. Sebab, jika kita menukar bath di Thailand, 1 bath dihargai Rp 320, sedangkan berdasarkan kurs yang dikeluarkan Bank Indonesia adalah 1 bath seharga Rp 291.
Saya sedikit mencatat tentang kisah Raja Thailand saat ini, yakni Raja Bhumibol atau Raja Rama IX. Dia sering digambarkan sebagai penentu pada saat krisis politik mendera Thailand. Tatkala dua kubu, yakni massa pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra (Kaus Merah) berhadapan dengan pemerintah yang diwakili militer, rakyat berkeinginan raja turut campur tangan menengahi konflik ini.
Raja yang lahir di Cambridge, Massachusetts, AS, pada 5 Desember 1927 ini menjadi raja sejak usia 19 tahun. Ia merupakan anggota Dinasti Chakri. Penobatan Bhumibol sebagai raja baru dilangsungkan pada 5 Mei 1950. Kepemimpinannya selama 61 tahun di Thailand menjadikannya sebagai kepala negara terlama di dunia, sekaligus raja terlama yang bertakhta di dunia.
Namun saat ini, kondisi fisiknya semakin menurun.Raja Bhumibol atau Raja Rama IX dimasukkan ke Rumah Sakit Siriraj sejak 19 September 2009 karena sakit. Akibatnya, figur yang sangat dihormati rakyat Thailand ini hanya sesekali muncul di depan publik.  Dengan kondisi kesehatan seperti demikian, Thailand seperti berada di jalan tak berujung. Pasalnya, berbagai kalangan di negeri Gajah Putih itu menilai belum ada calon pengganti yang sekarismatik Bhumibol.
”Rakyat Thailand takut, jika Raja Rama IX meninggal akan ada perpecahan. Bahkan ada ramalan bahwa kerajaan Thailand akan berakhir setelah Raja Rama IX ini wafat. Ada putra mahkota, tapi rakyat tidak suka karena istrinya banyak,” ucap Imran.
Selain Raja Rama IX, raja yang cukup tersohor adalah Raja Chulalongkorn atau Raja Rama V. Dia dinobatkan sebagai raja pada usia 15 tahun. Hal yang masih menjadi perdebatan adalah jumlah istri Raja Chulalongkorn. “Ada yang mengatakan istrinya 66, ada juga yang menyebut 88,” ungkap Imran.
Rasanya terlalu panjang menulis tentang sejarah Kerajaan Thailand. Jadi, catatan berikutnya akan menampilkan para pedagang di Wat Arun Temple yang sebagian besar bisa berbahasa Indonesia. (bersambung)