Prinsip gotong royong dalam program
Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dipahami betul oleh
Kussudiyono. Terbukti, warga Jalan S Parman Sampit yang menjadi peserta mandiri
JKN-KIS ini selalu taat membayar iuran, meski masih sehat walafiat. Dia pun mengikhlaskan
premi bulanan yang tidak bisa diambil kembali, seperti layaknya asuransi swasta
lain. Baginya, program JKN-KIS sebagai bentuk gotong-royong dan solidaritas di
bidang kesehatan.
”Peserta JKN yang kebetulan tidak
pernah memanfaatkan layanan JKN karena sehat, tidak perlu merasa rugi. Rajin
membayar iuran setiap bulan bukanlah pekerjaan sia-sia. Selain untuk antisipasi
kalau-kalau harus berobat dengan biaya yang cukup besar, iuran yang dibayarkan
setiap bulannya merupakan bentuk solidaritas terhadap sesama peserta JKN yang
sedang sakit,” kata Kussudiyono yang juga pengusaha warung kelontongan di
Sampit, Kamis (15/9/2016).
Hal senada disampaikan Widodo, Manajer
Keuangan dan Umum PT Sampit Putra Perdana. Perusahaan penerbitan tempatnya
bekerja mengikutsertakan seluruh karyawan dalam program JKN-KIS bukan hanya
untuk menunaikan amanah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, tapi juga demi kepentingan perusahaan dan
pekerja.
”Sebelum ikut program JKN, perusahaan
kami harus menanggung biaya pengobatan ketika ada karyawan sakit. Sekarang,
karyawan yang sakit ditanggung BPJS. Pengeluaran perusahaan untuk kesehatan
karyawan menjadi lebih terukur,” terang Widodo di ruang kerjanya, Kamis (15/9).
Meski pengobatan karyawan ditanggung
BPJS, perusahaannya tetap menginginkan seluruh karyawan sehat dan produktif.
Caranya, dengan mengagendakan olahraga rutin bagi karyawan berupa futsal setiap
akhir pekan. Tak hanya itu, pihaknya juga menyelenggarakan senam rutin di Taman
Kota Sampit setiap Minggu pagi untuk karyawan dan masyarakat umum.
Setiap Minggu pukul 05.00 WIB, crew
senam sudah menyiapkan sound system, panggung, sekaligus instruktur. Semua
biaya operasional senam yang mencapai Rp 1 juta ditanggung PT Sampit Putra
Perdana. Pengeluaran mingguan ini sebanding dengan antusiasme warga Sampit dan
sekitarnya yang selalu memadati kawasan Taman Kota Sampit untuk ikut senam.
”Ini sebagai upaya kami menyehatkan
karyawan dan masyarakat umum, sekaligus sebagai bentuk gotong royong kami dalam
program JKN-KIS, selain iuran bulanan kepada BPJS,” ujar Widodo.
Sementara itu, bagi mereka yang didera
penyakit, kehadiran progam JKN-KIS bak dewa penolong yang memberi harapan
kesembuhan. Apalagi preminya terjangkau tanpa mempertimbangkan sehat atau
sakit, muda maupun tua. Seperti yang dirasakan pasangan suami istri Fery dan
Anifah, warga Sampit. Putri pertama mereka, Fiona Puspita Sari, menderita
thalassemia; suatu penyakit kelainan darah yang menyebabkan sel darah merah
tidak berfungsi secara normal.
Fiona diketahui menderita thalassemia
sejak usia 4 bulan. Sejak saat itu hingga kini usianya 10 tahun, Fiona harus
menjalani transfusi tiga hingga empat kantung darah golongan AB setiap bulan dan
minum obat saban hari. Harga per kantong darah Rp 360 ribu, belum termasuk biaya
jasa perawatan rumah sakit.
”Fiona juga harus minum dua pil exjade
250 mg setiap hari. Dulu kami beli di Jawa Rp 100 ribu per butirnya. Pokoknya,
biaya pengobatan tak kurang dari Rp 5 juta per bulan,” kata Anifah saat ditemui
Radar Sampit di rumahnya, Gang Panglima Balai, Jalan Muchran Ali, Sampit, Kamis
(15/9).
Sebelum ada BPJS, dia hanya
menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk mendapatkan keringan
berobat. Namun ketika kondisi Fiona memburuk dan harus dirujuk ke Jawa, SKTM
tidak berlaku lagi. Mau tak mau, dia harus merogoh kantong pribadi.
”Fional pernah dirujuk ke Rumah Sakit
dr Sarjito Yogyakarta. Di sana, uang Rp 25 juta habis,” kata perempuan yang
berdagang makanan di kantin SMKN 1 Sampit ini.
Sejak adanya BPJS pada 2014, dia
mendaftar program JKN sebagai peserta mandiri kelas II. Iurannya kini Rp 51.000
per orang. ”Sejak ada program JKN, beban kami jauh berkurang. Kini kami bisa
menyandarkan harapan hidup anak kami
kepada BPJS Kesehatan. Soal jumlah iuran bulanan, itu tidak ada apa-apanya
dibanding manfaat yang kami dapatkan. Apalagi pengobatan thallasemia ini harus
dilakukan seumur hidup,” kata Anifah seraya memangku Fional di barak yang di kontraknya
Rp 400 ribu per bulan.
Manfaat program JKN juga dirasakan
oleh Cicie. Dia harus berjuang merawat anaknya yang berkebutuhan khusus. Setiap
bulan harus menjalani terapi di Rumah Sakit Umum Daerah dr Murjani Sampit.
Bahkan dia juga pernah merujuk anaknya ke RS Cipto Mangunkusumo Jakarta selama
satu bulan.
Sampai sekarang, kata Cicie, anaknya
membutuhkan perlakukan khusus. Tidak boleh kena debu, asap, bising, maupun
angin kencang. Sedikit saja lengah dalam pengawasan, pasti ke rumah sakit.
”Kalau bukan peserta JKN-KIS, dari mana kami membayar semua itu,” kata pegawai
negeri yang bertugas di SMKN 4 Sampit ini.
Tak hanya itu, sewaktu melahirkan anak
pertama, Cicie harus menjalani operasi caesar. Hal serupa terjadi pada
kelahiran anak keduanya. Beruntung dirinya saat itu menjadi peserta Askes.
”Sejak namanya PT Askes hingga kini menjadi BPJS Kesehatan, saya selalu
dibantu. Semua layanan kesehatan yang saya dapatkan, ditanggung BPJS,” kata
Cicie.
Kasus di atas merupakan sedikit contoh
betapa pentingnya gotong-royong dan membangun solidaritas di bidang kesehatan;
yang sehat membantu yang sakit. Namun, persoalan yang dihadapi BPJS Kesehatan
saat ini cukup pelik. Masih banyak warga yang enggan mendaftar secara mandiri
karena masih merasa sehat. Sementara yang sakit berbondong-bondong mendaftar
JKN. Ketika sudah sembuh, menunggak premi bulanan. Hal ini mengakibatkan sirkulasi
keuangan BPJS Kesehatan tidak berimbang.
”Orang-orang yang sehat kebanyakan
menunda daftar karena mereka merasa belum membutuhkan. Hal ini membuat
pendapatan dan pembiayaan kita tidak seimbang,” kata Kepala BPJS Kesehatan
Cabang Sampit Atulyadi.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan Cabang
Sampit, tingkat kolektibilitas iuran peserta mandiri di Kabupaten Kotawaringin
Timur per September sebesar 61,3 persen atau Rp 6,2 miliar. Tunggakannya Rp 3,8
miliar. Padahal premi JKN-KIS jauh lebih murah dibanding asuransi swasta
lainnya. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, premi kelas I Rp
80 ribu per orang setiap bulan, kelas II Rp 51 ribu, sedangkan kelas III hanya Rp
30 ribu.
Dengan mengeluarkan
sedikit uang layaknya sedekah, peserta JKN-KIS yang kini mencapai 168.807.302
jiwa ikut andil memberikan manfaat yang besar untuk kesehatan bangsa. Kesadaran
bergotong royong dan rasa solidaritas yang diwujudkan dengan tertib iuran juga
dapat mencegah ketimpangan sirkulasi keuangan BPJS Kesehatan. Dampak ikutannya,
25.654 provider JKN-KIS bisa maksimal memberikan layanan bagi peserta.
=====================
Catatan: Artikel ini pernah diterbitkan di Radar Sampit edisi 17 September 2016 dan meraih juara 1 dalam Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan 2016.