Jumat, 21 Oktober 2016

Merajut Solidaritas melalui Program JKN-KIS

Prinsip gotong royong dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dipahami betul oleh Kussudiyono. Terbukti, warga Jalan S Parman Sampit yang menjadi peserta mandiri JKN-KIS ini selalu taat membayar iuran, meski masih sehat walafiat. Dia pun mengikhlaskan premi bulanan yang tidak bisa diambil kembali, seperti layaknya asuransi swasta lain. Baginya, program JKN-KIS sebagai bentuk gotong-royong dan solidaritas di bidang kesehatan.  
”Peserta JKN yang kebetulan tidak pernah memanfaatkan layanan JKN karena sehat, tidak perlu merasa rugi. Rajin membayar iuran setiap bulan bukanlah pekerjaan sia-sia. Selain untuk antisipasi kalau-kalau harus berobat dengan biaya yang cukup besar, iuran yang dibayarkan setiap bulannya merupakan bentuk solidaritas terhadap sesama peserta JKN yang sedang sakit,” kata Kussudiyono yang juga pengusaha warung kelontongan di Sampit, Kamis (15/9/2016).
Hal senada disampaikan Widodo, Manajer Keuangan dan Umum PT Sampit Putra Perdana. Perusahaan penerbitan tempatnya bekerja mengikutsertakan seluruh karyawan dalam program JKN-KIS bukan hanya untuk menunaikan amanah  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, tapi juga demi kepentingan perusahaan dan pekerja.   
”Sebelum ikut program JKN, perusahaan kami harus menanggung biaya pengobatan ketika ada karyawan sakit. Sekarang, karyawan yang sakit ditanggung BPJS. Pengeluaran perusahaan untuk kesehatan karyawan menjadi lebih terukur,” terang Widodo di ruang kerjanya, Kamis (15/9).
Meski pengobatan karyawan ditanggung BPJS, perusahaannya tetap menginginkan seluruh karyawan sehat dan produktif. Caranya, dengan mengagendakan olahraga rutin bagi karyawan berupa futsal setiap akhir pekan. Tak hanya itu, pihaknya juga menyelenggarakan senam rutin di Taman Kota Sampit setiap Minggu pagi untuk karyawan dan masyarakat umum.  
Setiap Minggu pukul 05.00 WIB, crew senam sudah menyiapkan sound system, panggung, sekaligus instruktur. Semua biaya operasional senam yang mencapai Rp 1 juta ditanggung PT Sampit Putra Perdana. Pengeluaran mingguan ini sebanding dengan antusiasme warga Sampit dan sekitarnya yang selalu memadati kawasan Taman Kota Sampit untuk ikut senam.
”Ini sebagai upaya kami menyehatkan karyawan dan masyarakat umum, sekaligus sebagai bentuk gotong royong kami dalam program JKN-KIS, selain iuran bulanan kepada BPJS,” ujar Widodo. 
Sementara itu, bagi mereka yang didera penyakit, kehadiran progam JKN-KIS bak dewa penolong yang memberi harapan kesembuhan. Apalagi preminya terjangkau tanpa mempertimbangkan sehat atau sakit, muda maupun tua. Seperti yang dirasakan pasangan suami istri Fery dan Anifah, warga Sampit. Putri pertama mereka, Fiona Puspita Sari, menderita thalassemia; suatu penyakit kelainan darah yang menyebabkan sel darah merah tidak berfungsi secara normal.   
Fiona diketahui menderita thalassemia sejak usia 4 bulan. Sejak saat itu hingga kini usianya 10 tahun, Fiona harus menjalani transfusi tiga hingga empat kantung darah golongan AB setiap bulan dan minum obat saban hari. Harga per kantong darah Rp 360 ribu, belum termasuk biaya jasa perawatan rumah sakit.
”Fiona juga harus minum dua pil exjade 250 mg setiap hari. Dulu kami beli di Jawa Rp 100 ribu per butirnya. Pokoknya, biaya pengobatan tak kurang dari Rp 5 juta per bulan,” kata Anifah saat ditemui Radar Sampit di rumahnya, Gang Panglima Balai, Jalan Muchran Ali, Sampit, Kamis (15/9).
Sebelum ada BPJS, dia hanya menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk mendapatkan keringan berobat. Namun ketika kondisi Fiona memburuk dan harus dirujuk ke Jawa, SKTM tidak berlaku lagi. Mau tak mau, dia harus merogoh kantong pribadi.
”Fional pernah dirujuk ke Rumah Sakit dr Sarjito Yogyakarta. Di sana, uang Rp 25 juta habis,” kata perempuan yang berdagang makanan di kantin SMKN 1 Sampit ini.
Sejak adanya BPJS pada 2014, dia mendaftar program JKN sebagai peserta mandiri kelas II. Iurannya kini Rp 51.000 per orang. ”Sejak ada program JKN, beban kami jauh berkurang. Kini kami bisa menyandarkan harapan  hidup anak kami kepada BPJS Kesehatan. Soal jumlah iuran bulanan, itu tidak ada apa-apanya dibanding manfaat yang kami dapatkan. Apalagi pengobatan thallasemia ini harus dilakukan seumur hidup,” kata Anifah seraya memangku Fional di barak yang di kontraknya Rp 400 ribu per bulan.
Manfaat program JKN juga dirasakan oleh Cicie. Dia harus berjuang merawat anaknya yang berkebutuhan khusus. Setiap bulan harus menjalani terapi di Rumah Sakit Umum Daerah dr Murjani Sampit. Bahkan dia juga pernah merujuk anaknya ke RS Cipto Mangunkusumo Jakarta selama satu bulan.   
Sampai sekarang, kata Cicie, anaknya membutuhkan perlakukan khusus. Tidak boleh kena debu, asap, bising, maupun angin kencang. Sedikit saja lengah dalam pengawasan, pasti ke rumah sakit. ”Kalau bukan peserta JKN-KIS, dari mana kami membayar semua itu,” kata pegawai negeri yang bertugas di SMKN 4 Sampit ini.
Tak hanya itu, sewaktu melahirkan anak pertama, Cicie harus menjalani operasi caesar. Hal serupa terjadi pada kelahiran anak keduanya. Beruntung dirinya saat itu menjadi peserta Askes. ”Sejak namanya PT Askes hingga kini menjadi BPJS Kesehatan, saya selalu dibantu. Semua layanan kesehatan yang saya dapatkan, ditanggung BPJS,” kata Cicie.
Kasus di atas merupakan sedikit contoh betapa pentingnya gotong-royong dan membangun solidaritas di bidang kesehatan; yang sehat membantu yang sakit. Namun, persoalan yang dihadapi BPJS Kesehatan saat ini cukup pelik. Masih banyak warga yang enggan mendaftar secara mandiri karena masih merasa sehat. Sementara yang sakit berbondong-bondong mendaftar JKN. Ketika sudah sembuh, menunggak premi bulanan. Hal ini mengakibatkan sirkulasi keuangan BPJS Kesehatan tidak berimbang.  
”Orang-orang yang sehat kebanyakan menunda daftar karena mereka merasa belum membutuhkan. Hal ini membuat pendapatan dan pembiayaan kita tidak seimbang,” kata Kepala BPJS Kesehatan Cabang Sampit Atulyadi.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan Cabang Sampit, tingkat kolektibilitas iuran peserta mandiri di Kabupaten Kotawaringin Timur per September sebesar 61,3 persen atau Rp 6,2 miliar. Tunggakannya Rp 3,8 miliar. Padahal premi JKN-KIS jauh lebih murah dibanding asuransi swasta lainnya. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, premi kelas I Rp 80 ribu per orang setiap bulan, kelas II Rp 51 ribu, sedangkan kelas III hanya Rp 30 ribu.
Dengan mengeluarkan sedikit uang layaknya sedekah, peserta JKN-KIS yang kini mencapai 168.807.302 jiwa ikut andil memberikan manfaat yang besar untuk kesehatan bangsa. Kesadaran bergotong royong dan rasa solidaritas yang diwujudkan dengan tertib iuran juga dapat mencegah ketimpangan sirkulasi keuangan BPJS Kesehatan. Dampak ikutannya, 25.654 provider JKN-KIS bisa maksimal memberikan layanan bagi peserta.   

=====================  

Catatan: Artikel ini pernah diterbitkan di Radar Sampit edisi 17 September 2016 dan meraih juara 1 dalam Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan 2016.