Memutus Aliran PLN saat Beban Puncak
Ketika listrik dari PLN padam, kebanyakan orang akan ngomel, namun hal ini tidak berlaku bagi Faisal Novendra Cahyanto. Dokter yang kini bertugas sebagai Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Sampit ini justru sering memutus aliran listrik PLN di rumahnya saat beban puncak, antara pukul 18.00 hingga 22.00 WIB.
Faisal selalu memutus pasokan PLN di rumahnya saat beban puncak bukan karena tidak mampu bayar tagihan listrik, tapi karena lebih memilih energi alternatif yang ramah lingkungan, yakni memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Kini, tagihan rekening listrik yang dia bayar hanya Rp 800 ribu per bulan atau turun drastis dari sebelum menggunakan PLTS yang mencapai Rp 1,6 juta per bulan. ”Ada penghematan sebesar Rp 50 persen,” kata Faisal.
Faisal memakai 10 solar cell (panel penangkap sinar matahari) yang dipasang di atas genting. Setiap panel mampu menyerap energi elektromagnetik sinar matahari sebesar 100 Watt per jam. Dengan memasang 10 solar cell maka mampu menghasilkan 1000 Watt per jam.
”Harga keping solar cell berbeda-beda, tergantung merk. Kurang lebih Rp 3 juta setiap kepingnya,” kata pria yang hobi otak atik elektronik ini.
Untuk menyimpan energi hasil PLTS, dia menggunakan accu dengan kapasitas kurang lebih 4.000 Watt. Sebelum dialirkan ke rumah, arus DC dari accu lebih dulu diubah menjadi arus AC menggunakan inverter sinus wave. ”Ini semua saya rangkai sendiri. Saat listrik PLN mati, bisa otomatis berganti ke PLTS,” katanya.
Menurutnya, toko elekronik di Sampit sudah banyak menjual solar cell. Namun kebanyakan teknologi ini baru dimanfaatkan untuk pasokan listrik gedung walet yang jauh dari jangkauan listrik. Sedangkan rumah tangga masih jarang yang menggunakan PLTS.
Sebenarnya, kata Faisal, dunia sudah mulai mengarah ke energi alternatif ini. Ketergantungan pada bahan bakar fosil diprediksi hanya akan membuat umat manusia terjerumus lebih jauh dalam ”penyiksaan” bumi. Sedangkan penundaan hanya akan membuat Indonesia kian tertinggal dan semakin bergantung pada negara maju.
Pria berambut putih ini yakin bahwa cahaya mataharilah yang akan menjadi jalan keluar dari krisis energi. Kelak jalan ini akan memberikan dampak positif yang luas pada perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.
Menurut suami dr Retno Budhi Purwaningrum ini, ada keuntungan mendasar dari pengembangan PLTS. Indonesia sebagai negara kepulauan tentu akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan listrik jika selalu bergantung pada bahan bakar fosil. Selain harganya terus merayap naik, biaya distribusinya juga sangat tinggi. Memang masih ada pilihan lain, seperti energi panas bumi. Namun, penyebaran sumber panas bumi tidak merata. Belum lagi dengan model pembangkitan terpusat akan sangat mahal jika harus membangun jaringan kabel dan peralatan lainnya. Beda dengan PLTS yang hanya membutuhkan sinar matahari yang berlimpah ruah dan sangat mudah dibuat dalam skala mini 50-100 watt untuk dipasang di setiap rumah.
Ada dua alasan utama yang menjadi dasar bahwa dunia ini mau tidak mau harus beralih dari bahan bakar fosil ke bahan bakar terbarukan (renewable energy). Alasan pertama adalah ketersediaan bahan bakar itu sendiri. Bahan bakar fosil dalam bentuknya sebagai minyak bumi, batu bara, dan gas alam adalah hasil dari proses jutaan tahun di dalam perut bumi. Alasan kedua, yang lebih penting lagi, adalah polusi akibat pembakaran bahan bakar fosil, yang menghasilkan karbon dioksida. Gas rumah kaca (GRK) yang mencemari bumi menjadi tersangka utama perubahan iklim (climate change) yang menyebabkan manusia memasuki kondisi alam yang kritis.
Menurut lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada (UGM) ini, Negara maju akan terus berkembang menjadi lebih ”hijau”. Indikasinya ke sana sudah dapat dilihat dalam bagaimana negara-negara maju dapat mengembangkan berbagai sumber energi alternatif terbarukan. Lihat saja bagaimana mobil-mobil hibrid laku keras di sana. Berbagai peralatan elektroniknya dibuat sangat efisien dalam mengonsumsi energi.
”Di sinilah letak kesenjangan antara Indonesia dan negara maju yang dapat menyebabkan makin lama makin tertinggal. Kita tampaknya juga harus menyadari bahwa sumber bahan bakar fosil yang selama ini kita nikmati adalah pinjaman dari anak cucu kita. Jangan sampai kita habiskan. Apa mau, kita nanti dihujat anak cucu kita karena terus terusan menjual bahan bakar fosil,” tutup dokter yang juga hobi menembak ini. (yit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar